Tulisan ini merupakan Tugas Paper pada Mata Kuliah Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter (Program Studi Master of Arts UGM)
Latar Belakang Masalah
Latar Belakang Masalah
Dalam
‘genggamannya’, Indonesia saat itu adalah negara dengan sistem pemerintahan yang
tidak demokratis. Selama hampir 32 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia, Soeharto
dikenal sebagai sosok pemimpin yang otoriter. Sepak terjangnya dalam mengatur Indonesia
dengan partai dengan kursi mayoritas (Golkar) melanggengkan kekuasaannya.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soeharto akan senantiasa dipatuhi. Namun,
kebijakan-kebijakan tersebut pasca reformasi dipersoalkan dan menjadi buah
bibir banyak kalangan. Banyak kalangan menaruh bangga namun tak sedikit yang
menaruh sentimen terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto dulu.
Salah
satu kebijakan yang saat ini menjadi perhatian beberapa kalangan khususnya dari
pers dan aktivis HAM ialah Petrus, atau dikenal Operasi Celurit. Petrus merupakan
operasi rahasia yang dilakukan ketika era Suharto pada tahun 1980-an. Petrus
sebagai cara untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat
itu.[1]
Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap
orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya
di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap,
karena itu muncul istilah ‘petrus’ (penembak misterius).
Berdasarkan
pemberitaan media massa yang terbit pada saat itu, sejak awal Januari 1983
Kodam Jaya telah memulai operasi pemberantasan kejahatan dengan nama “Operasi
Celurit”. Petrus pertama kali dijalankan di Yogyakarta. Dalam operasi itu,
Kodam Jaya berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Sudomo. Menurut
keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27 Juli 1983, operasi itu tidak hanya
ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk
menginventarisasi nama-nama pelakunya. Sebuah buku biografi Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, didalamnya
Soeharto membenarkan adanya ‘Petrus’. Beliau menjelaskan bahwa penembakan
misterius itu sengaja dilakukan sebagai shock
terapy. Dalam bukunya beliau menuturkan kalau Petrus ditujukan sebagai
usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek
jera.[2]
Kebijakan
ini bertujuan jelas untuk menekan laju kriminalitas, kejahatan, mafia yang
merajalela, Gabungan Anak Liar (GALI), mereka sangat menganggu dan meresahkan
masyarakat sehingga harus diberantas. Akan tetapi di sisi lain, apakah
kebijakan ini dapat dibenarkan jika melihat korban yang terbunuh tidaklah
sedikit, dan perlu dicatat bahwa mereka tanpa melewati proses hukum yang adil,
apakah kebijakan ini bisa dikategorikan kebijakan yang melanggar hak-hak asasi
manusia. Maka untuk menjawabnya Penulis akan menganalisis kasus ‘Petrus’ ini melalui
sudut pandang hukum HAM.
Rumusan Masalah
Apakah
kebijakan “Petrus” Soeharto bisa dibenarkan dengan alasan untuk menegakkan
stabilitas keamanan dalam negeri?
Bagaimana
hukum HAM memandang pelaksanaan kebijakan “Petrus” ini?
Kerangka
Berpikir
Non-derogable
rights
Hak Non-derogable rights dalam ICCPR adalah hak-hak yang bersifat absolut,
yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara. Hak-hak yang termasuk
dalam jenis ini adalah[3]:
1. Hak
atas hidup (rights to life)
2. Hak
bebas dari penyiksaan (rights to be free
from torture)
3. Hak
bebas dari perbudakkan (rights to be free
from slavery)
4. Hak
bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian utang
5. Hak
bebas dari pemidanaan yang berlaku surut
6. Hak
sebagai subjek hukum
7. Hak
atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama
Dalam konstitusi negara Republik
Indonesia, hak-hak yang termasuk dalam non-derogable rights diatur
dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang meliputi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Hipotesis
Kebijakan “Petrus” adalah kebijakan
yang melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Karena pembunuhan adalah bentuk
pelanggaran HAM yakni hak untuk hidup (rights
to life). Kebijakan ini mencerminkan negara pada saat itu membeda-bedakan
hak warga negaranya sehingga nilai-nilai kemanusiaan dipinggirkan. Padahal negara
adalah aktor penting dalam menghormati, menjaga, memajukan, dan melindungi
hak-hak warga negaranya tanpa terkecuali.
Pembahasan
a.
Perjalanan
“Petrus”
Tingkat
kriminalitas sangat tinggi di era tahun 1980-an. Saat itu masyarakat gelisah
jika bepergian keluar rumah karena para preman itu melakukan aksi kejahatan,
memeras, hingga membunuh. Soeharto kemudian menginstruksikan dilakukannya
sebuah operasi keamanan untuk membasmi para preman. Masyarakat yang sebelumnya
takut keluar rumah, kembali menjalankan aktivitasnya tanpa takut diganggu para
preman.[4] Presiden Soeharto mengakui tindakan tegas
dengan jalan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan harus dilakukan sebagai
sebuah treatment therapy. Mantan Pangkostrad
itu bahkan menyatakan, tindakan tegas dengan cara ditembak suka tidak suka
harus dilakukan kepada pelaku kejahatan yang melawan. Dalam buku otobiografinya
Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya[5],
Soeharto mengatakan:
“Lalu ada yang
mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan.Supaya
orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa
bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua
kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian redalah
kejahatan-kejahatan yang menjijikkan tersebut”
Petrus atau Operasi
Clurit merupakan operasi penangkapan
dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan
ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya
pun tidak pernah ketahuan, sehingga dikenallah dengan nama Petrus (Penembak
Misterius). Petrus berawal dari
operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto
memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberhasilan
membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama,
di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah
pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi
Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut
oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda, Metro Jaya dan Wagub DKI
Jakarta di Markas
Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk
melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti
oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya. Pada tahun 1983
tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan.
Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun
1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus
sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat.
Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir
jalan, didepan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola
pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput
aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui
terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734
sebagai operasi pembersihan para gali. Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen
TNI
Yogie S. Memet yang punya
rencana mengembangkannya.[6]
b.
Pernyataan
Komnas HAM
Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan bukti yang cukup adanya dugaan telah
terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa penembakan misterius (Petrus).
Kesimpulan itu didapat oleh Komnas HAM setelah melakukan penyelidikan
projustisia atas kasus penembakan misterius, atau dikenal sebagai petrus.
Komisioner Komnas HAM, Yoseph Adi Prasetyo, mengatakan penyelidikan yang
dilakukan oleh Komnas HAM ini melihat pada konteks politik yang terjadi
pada masa itu, ketika terjadi meningginya angka kriminalitas yang
disertai kekerasan dan adanya sekelompok preman yang dianggap tidak loyal
pada penguasa. Jenis kejahatan yang tercakup dalam kasus petrus ini adalah pembunuhan, penyiksaan,
perampasan kemerdekaan atau kebebasa fisik lain secara sewenang-wenang
dan penghilangan orang secara paksa. Sasaran korban dari penembakan misterius
ini telah dipilih bahkan sudah ada daftar yang dibuat sebagai target
operasi. Mereka dinyatakan sebagai penjahat, preman dan lebih sering
mantan residivis dengan ciri-ciri utama korban mempunyai tato. Namun tidak
jarang korban justru tidak pernah melawan hukum dan menjadi salah sasaran
karena kebetulan mempunyai nama yang sama. Komnas HAM juga menjelaskan bahwa
sebaran korban terjadi tidak hanya di satu wilayah namun terjadi juga di
seluruh wilayah Jawa dan Sumatra.[7]
Menurut
penelitian David Bourchier, pelaku pembunuhan bertindak dalam konteks
melaksanakan perintah jabatan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Republik Indonesia, yang juga berada di
bawah komando Presiden Republik Indonesia. Selain pelaku yang memiliki
kewenangan, ditemukan pula bukti adanya pelaku individu yang bertindak secara
aktif dan disebut sebagai “operator”. Bukti tersebut diperkuat dengan
bukti-bukti yang ada di lapangan, misalnya pada tali tambang dan kayu yang
digunakan untuk mencekik korban. Menurut Yosep, alat untuk eksekusi tampak
sudah dipersiapkan sebelumnya. Kayu pegangan dipotong dengan halus, bahkan
diserut. Sedangkan jenis ikatan clove-hitch pada talinya menunjukkan bahwa
pelaku adalah orang yang terlatih dan mengerti tali-temali. Setelah dibombardir
protes, teknik pembunuhan pun berubah dari penembakan menjadi pencekikan dan
berbagai cara penghilangan orang.Peristiwa Petrus juga ditandai dengan berbagai
pola yang ditemukan pada tubuh mayat. Misalnya Mister X, julukan untuk orang
yang ditemukan tanpa identitas, dalam keadaan tidak bernyawa dengan kedua tangan
terikat di belakang. Mayat ditemukan dengan tiga luka tembakan di kepala atau
mati karena tercekik.[8] Komnas
HAM secara tegas menyatakan bahwa “Petrus” merupakan operasi keamanan yang
melanggar HAM dan harus ditindaklanjuti secara hukum guna menangkap pelakunya. Tahun
2012, Komnas HAM menyimpulkan petrus adalah pelanggaran HAM berat.[9]
c.
Apakah
“Petrus” bisa dibenarkan?
Penulis
berasumsi dalam kasus Petrus ini, untuk pihak yang harus bertanggung jawab
adalah pemerintahan saat itu, bertanggung jawab menjelaskan secara hukum dan
sesuai konstitusi tentang yang sebenarnya menjadi tujuan “Petrus”. Karena
memang saat itu, masyarakat tidak masalah dengan operasi ini, masyarakat justru
diuntungkan karena kriminalitas bisa diatasi. Tetapi permasalahan yang timbul
kemudian, apakah “Petrus” adalah jalan satu-satunya? Mengingat memang terjadi
banyak argumen yang berbeda melihat kebijakan kontroversial ini.
Dipihak
Komnas HAM bahwa rangkaian peristiwa penembakan misterius (petrus) yang
menewaskan ribuan jiwa selama kurun 1982-1985 oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan
luar biasa. Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, para pelaku Petrus adalah
terdiri dari aparat militer dan sipil. Aparat militer seperti Koramil, Kodim,
Kodam/Laksusda dan Garnizun. Mereka adalah pelaku yang melaksanakan perintah
jabatan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Republik Indonesia (Pangkopkamtib).[10]
Akan
tetapi pemerintah saat itu berdalih operasi ini untuk menekan kriminalitas,
menjaga keamanan masyarakat dan tidak melanggara HAM. Panglima Komando
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia (Pangkopkamtib) lewat
bapak Sudomo mengatakan bahwa Petrus adalah tindakan represif untuk preventif. Beliau
mengatakan: Jadi kita melakukan tindakan
dengan represif, tapi dia tidak diproses ke pengadilan, tapi tindakan represif
ini tidak berarti bahwa kita menyalahi hukum, jadi dasarnya itu masih tetap
konstitusi, demokrasi, hukum.[11]
Melihat pernyataan diatas, dapat
diketahui bahwa pemerintah beralasan tindakan yang diputuskan untuk memberi
jera itu merupakan tindakan represif yang tidak menyalahi konstitusi. Secara
sosiologis dapat dipahami bahwa memang penanggulangan segala bentuk tindakan
kriminal dapat dilakukan dengan cara preventif ataupun represif. Cara preventif
adalah cara penanggulangan dengan pola mencegah, seperti imbauan atau
penyuluhan. Cara represif adalah cara penanggulangan dengan pola keras, seperti
penangkapan, pemenjaraan sampai dengan penembakan dan pembunuhan.[12]
Disinyalir angka kriminalitas
menurun drastis ketika “Petrus” dilaksanakan, bahkan masyarakat tidak menolak
operasi keamanan ini. Jika dilihat dari
kacamata pemerintah dan tujuannya untuk mengamankan situasi dalam keseharian masyarakat
yang tidak aman, “Petrus” adalah aksi cepat sebagai respon tersebut. Akan
tetapi, tindakan represif tersebut seharusnya bukan main hakim sendiri, karena
penjahat atau preman-preman tersebut harus menjalani proses hukum yang adil,
bukan ditembak di tempat, mayat di pinggir jalan dan lain-lain. Proses hukum
yang adil inilah yang menandakan negara berlaku adil dan “Petrus” tidak
memenuhi poin ini.
Memang benar kejahatan harus
diberantas, akan tetapi upaya penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut[13]:
(1) Sistem
dan operasi Kepolisian yang baik.
(2) Peradilan
yang efektif.
(3) Hukum
dan perundang-undangan yang berwibawa.
(4) Koordinasi
antar penegak hukum dan aparatur pemerintah yang serasi.
(5) Partisipasi
masyarakat dalam penangulangan kejahatan.
(6) Pengawasan
dan kesiagaan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan.
(7) Pembinaan
organisasi kemasyarakatan.
Persyaratan diatas jika melihat
aplikasinya dalam “Petrus” sepertinya mengalami ketidaklurusan, dengan kata
lain tindakan represif oleh aparat keamanan memberantas kejahatan berlangsung
tidak sesuai konstitusi. Jangan sampai
tindakan represif ini menjadi bentuk ketidakpastian dan ketidakadilan
penegakkan hukum era pemerintahan Soeharto.
Tetapi
di era reformasi saat ini ternyata ada pemahaman yang berbeda dari pemerintahan
di era SBY walaupun Komnas HAM tetap pada posisinya tegas mengatakan “Petrus”
merupakan pelanggaran HAM berat. Dalam kasus penembakan misterius (Petrus)
1982-1985 misalnya, pada saat itu Sudomo yang menjabat sebagai Pangkopkamtib
menggelar operasi untuk menertibkan preman bertatto dan pengemis di beberapa
wilayah di Indonesia dengan tujuan untuk memerangi premanisme. Sehingga pemerintah
justru terkesan melupakan tindakan-tindakan yang dilakukan para pelaku di masa
lalu dengan memberikan apresiasi terhadap jasa-jasanya di masa lalu tanpa
melihat akibat yang muncul dan dirasakan oleh para korban. Koordinator KontraS
Haris Azhar mengatakan "Bahkan secara khusus, Presiden SBY dalam
pernyataannya di media menyatakan bahwa Sudomo memiliki pengabdian yang tinggi
bagi Negara semasa hidupnya.[14]
Sehingga tidak mengherankan kasus
pelanggaran HAM “Petrus” ini termasuk kasus pelanggaran HAM yang belum
tersentuh proses hukum. Seperti pernyataan Adnan Buyung Nasution SH, Ketua
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bahwa “Petrus” terkesan dilindungi oleh proses penyelidikan tindak
pidana. Tidak ada hasil yang jelas dan tindakan nyata, mengusut tuntas
kasus “Petrus”, hingga
proses pengadilan. Tindakan kriminal “Petrus” termasuk bentuk pelanggaran hukum, tanpa ada proses
pengadilan.
d.
Non-derogable Rights melihat “Petrus”
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”
- Pembunuhan
adalah melanggar hak untuk hidup[15]
Korban
jiwa dalam peristiwa Penembakan Misterius periode 1982 sampai dengan 1985 tidak
dapat dinyatakan secara pasti, karena tidak ada penghitungan resmi dan sah. Ada
beragam penyebutan jumlah korban. Sementara itu fakta pembunuhan yang terjadi
dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan 1985 di Jawa
Tengah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Diambil oleh atau diduga oleh tentara
atau polisi (terkadang dengan menggunakan teman untuk menjemput korban)
b.
Diambil atau dieksekusi oleh orang yang tidak dikenal
c.
Diambil dari tempat umum
d. Tidak diketahui proses pembunuhannya
2. Perampasan kemerdekaan melanggar hak bebas dari
perbudakkan (rights to be free from
slavery)
Dari
hasil penyelidikan Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan
1985 ini ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Bentuk lain
dari perampasan ini adalah penangkapan tidak disertai dengan surat perintah
penangkapan dalam peristiwa penembakan misterius periode 1982 sampai dengan
1985 dilaksanakan dengan beberapa cara sebagai berikut:
a. Korban diambil dari tempat tinggalnya
tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak jelas identitasnya (biasanya
korban dibawa dengan mobil)
b.
Korban diambil dari rumahnya oleh polisi tanpa alasan yang jelas
c.
Korban diambil oleh tentara
d.
Korban diambil dari tempat umum
e.
Korban di ambil dari tempat
Dalam
laporan Komnas HAM menjelaskan bahwa 9 orang saksi menyatakan bahwa korban
dijemput dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak
memperkenalkan diri sehingga tidak diketahui identitasnya, bahkan sebagian
menutupi identitasnya dengan menggunakan penutup kepala hitam ataupun cadar.
Sebagian korban dijemput dari kediamannya pada tengah malam ataupun dini hari
menjelang pagi. Setelah dijemput dari rumahnya, korban kemudian dibawa dengan
menggunakan mobil. Saksi yang sebagian besar merupakan keluargakorban tidak
mengetahui kemana korban-korban tersebut dibawa. Bukti dari saksi Petrus
mempertegas bahwa dalam aspek hukum HAM yakni Hak Non-Derogable Rights telah dilanggar oleh “Petrus”.
Hak
lain yang dilanggar adalah Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture). Tindak penyiksaan sebagai berikut:
1. Mayat
korban yang ditemukan terdapat ada bekas jeratan di lehernya seperti dijerat
dengan plat besi.
2. Alat
kelamin korban dibakar oleh orang yang mengambilnya.
3. Mayat
korban yang ditemukan dengan bekas luka jeratan di leher dan kedua telapak
tangan korban gosong.
4. Pada
mayat korban terdapat biru di dahi dan pipinya.
5. Salah
seorang saksi korban yang selamat memberikan kesaksian bahwa setelah dijemput dari rumahnya, saksi
dipukuli dengan menggunakan rotan dibagian punggungnya.
6. Saksi
korban yang selamat lainnya memberikan kesaksian bahwa pada saat dia berada
ditahanan Satgas Intel, para tahanan ‘dipestakan’ kata lain dari dipukuli oleh petugas dengan pemeriksaan.
Bentuk penyiksaan lainnya adalah dijemur dengan hanya memakai celana dalam di
atas semen di lantai dasar menghadap matahari dari pukul 10 pagi sampai dengan
2 siang, atau direndam sambil duduk di dalam bak yang berisi air setinggi
hidung dan di atas kepala tahanan dipasang kayu yang diberi paku agar tahanan
tidak berdiri.
7. Mayat
korban yang ditemukan terdapat luka lebar di bagian belakang kepala dan luka
tembak di bagian depannya.
8. Mayat
korban yang ditemukan dalam keadaan telanjang, badan penuh pasir, pipi kiri
kanan penuh luka-luka gores seperti tergores aspal, di leher ada lingkaran
menghitam seperti bekas diseterum, kaki kanan dan kiri ada lubang-lubang kecil
seperti ditusuk dengan benda kecil misalnya jari-jari sepeda, kemaluannya
diikat dengan tali. Pada mayat korban yang ditemukan dengan luka tembak di
bagian kepala dari arah belakang sehingga pada bagian muka ada lubang besar,
luka tembak di punggung.
Ditemukan
fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang. Bentuk lain dari perampasan ini adalah penangkapan tidak disertai dengan surat
perintah penangkapan dilaksanakan dengan beberapa cara sebagai berikut:
1. Korban
diambil dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak
jelas identitasnya (biasanya korban dibawa dengan mobil). Sembilan orang saksi
menyatakan bahwa korban dijemput dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun
oleh orang yang tidak memperkenalkan diri sehingga tidak diketahui
identitasnya, bahkan sebagian menutupi identitasnya dengan menggunakan penutup
kepala hitam ataupun cadar. Sebagian korban dijemput dari kediamannya pada
tengah malam ataupun dini hari menjelang pagi. Setelah dijemput dari rumahnya,
korban kemudian dibawa dengan menggunakan mobil. Saksi yang sebagian besar
merupakan keluarga korban tidak mengetahui kemana korban-korban tersebut
dibawa.
2. Korban
diambil dari rumahnya oleh polisi tanpa alasan yang jelas, 21 orang saksi
menyatakan bahwa korban dijemput dari rumahnya oleh petugas kepolisian atau
orang yang diduga merupakan anggota kepolisian tanpa mengemukakan alasan yang
jelas dan tidak menunjukansurat
penangkapan. Sebagian hanya menyatakan bahwa korban hanya dipinjam
sebentar untuk sebuah urusan. Beberapa orang korban dijemput dengan paksa,
bahkan ada yang dibawa dalam todongan pistol.
3. Korban
diambil oleh tentara. Sebelas orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari
rumahnya atau diambil dari suatu tempat oleh tentara atau orang yang diduga
merupakan anggota tentara yang tidak memperkenalkan identitasnya dan tidak
menunjukkan surat penangkapan. Namun kemudian sebagian besar korban tersebut
ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Korban diambil dari tempat umum. Empat
orang saksi menyatakan bahwakorban telah diambil dari tempat umum dengan paksa.
4. Korban
di ambil dari tempat ditahan. Salah seorang saksi menyatakan bahwa salah satu
korban Petrus diambil dari Lembaga
pemasyarakatan setelah sebelumnya ditahan selama beberapa bulanoleh orang yang
tidak dikenal dan menggunakan tutup kepala.
Menimbang
bukti dari laporan Komnas HAM diatas, “Petrus” bisa disebut telah melanggar hak
Non-Derogable Rights yang telah Indonesia Ratifikasi dari ICCPR tersebut. Negara
Indonesia telah meratifikasi konvensi ICCPR tahun 2005, walaupun sebenarnya
ketentuan yang ada di ICCPR hampir sama dengan isi Pasal 28I ayat (1) UUD
1945. Walaupun baru diratifikasi tahun 2005, sedangkan “Petrus” adalah kasus
tahun 1980-an, bukan berarti tidak bisa diadili. Karena pada dasarnya Pembukaan
UUD 1945 dan Pancasila secara lantang menegaskan bahwa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Termasuk dengan mengadili pelaku “Petrus”
merupakan perwujudan dari nilai-nilai keadilan bangsa ini.
Kesimpulan
Kasus Petrus merupakan salah satu dari
banyak kasus pelanggaran HAM bangsa Indonesia. Perlu diingat, korba-korban
Petrus juga manusia, memang mereka melakukan kejahatan akan tetapi mereka patut
hidup dan dilindungi oleh Negara. Jika mereka bersalah, maka harus diproses
hukum yang adil. Jika ingin negara aman, maka perbaiki struktur aparat keamanan
dan sistem perekonomian agar rakyat sejahtera. Kita negara yang memiliki dasar
konstitusi yang jelas sebagai falsafah bangsa, maka jadikan itu tolak ukur
untuk menghukum para preman tersebut. Sehingga operasi keamanan seperti
“Petrus” ini yang jelas illegal tidak terulang kembali. Penulis menyimpulkan
tidak ada hak sekalipun negara untuk melakukan pembunuhan dengan alasan menekan
kriminalitas apabila peng-aplikasiannya “serampangan”.
[1]
http://nasional.tempo.co/read/news/2012/07/31/078420311/ini-kisah-pelaku-petrus-orde-baru
diakses pada tanggal 13 November 2015 pukul 18.15
[2]
http://historia.id/modern/petrus-kisah-gelap-orba
diakses pada tanggal 13 November 2015 pukul 18.33
[3]http://nhri.ohchr.org/EN/IHRS/TreatyBodies/Page%20Documents/Core%20Human%20Rights.pdf
diakses pada tanggal 22 November 2015 pukul 13.30
[4]
http://www.merdeka.com/peristiwa/pengakuan-pak-harto-soal-petrus.html
diakses pada tanggal 10 Desember 2015 pukul 21.30
[5]
G. Dwipayana dan Ramadhan KH terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1988.
[6]
Kompas, 6 April 1983 dan Kompas, 30 April 1983 dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius#cite_note-3
[7]
http://www.beritasatu.com/politik/61964-komnas-ham-petrus-kejahatan-terhadap-kemanusiaan.html
diakses pada tanggal 10 Desember 2015
pukul 22.00
[8] http://nasional.tempo.co/read/news/2012/07/24/078419026/korban-petrus-1982-1985-capai-10-ribu-orang
diakses pada tanggal 10 Desember 2015 pukul 22.56
[9]http://www.merdeka.com/peristiwa/soeharto-kerahkan-petrus-bantai-preman-yogyakarta.html
diakses pada tanggal 10 Desember 2015 pukul 23.00
[10]
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt500ece0699e32/komnas-ham--aparat-militer-pelaku-petrus-1982-1985
diakses pada tanggal 10 Desember 2015 pukul 23.41
[11]
Youtube dalam ‘Mata Najwa’ Berangus ala Petrus. Dilihat di https://youtu.be/qTZlezqe5Hs pada
tanggal 10 Desember 2015 pukul 11.55
[12]
Dra. Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi.
PT. Gelora Aksara Pratama. hal. 22-23
[13]
Soejono, D., Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni,
Bandung, 1976, hal 45
[14]
http://kontras.org/home/index.php?module=berita&id=5395
diakses pada tanggal 11 Desember 2015 pukul 13.06
[15]
http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/dok-publikasi/Eksum%20Petrus.pdf
diakses pada tanggal 11 Desember 2015 pukul 12.19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar