Rabu, 23 Maret 2016

ANALISIS KEBIJAKAN “PETRUS” ERA SUHARTO MELALUI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Tulisan ini merupakan Tugas Paper pada Mata Kuliah Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter (Program Studi Master of Arts UGM)

Latar Belakang Masalah
Dalam ‘genggamannya’, Indonesia saat itu adalah negara dengan sistem pemerintahan yang tidak demokratis. Selama hampir 32 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia, Soeharto dikenal sebagai sosok pemimpin yang otoriter. Sepak terjangnya dalam mengatur Indonesia dengan partai dengan kursi mayoritas (Golkar) melanggengkan kekuasaannya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soeharto akan senantiasa dipatuhi. Namun, kebijakan-kebijakan tersebut pasca reformasi dipersoalkan dan menjadi buah bibir banyak kalangan. Banyak kalangan menaruh bangga namun tak sedikit yang menaruh sentimen terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto dulu.
Salah satu kebijakan yang saat ini menjadi perhatian beberapa kalangan khususnya dari pers dan aktivis HAM ialah Petrus, atau dikenal Operasi Celurit. Petrus merupakan operasi rahasia yang dilakukan ketika era Suharto pada tahun 1980-an. Petrus sebagai cara untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu.[1] Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah ‘petrus’ (penembak misterius).
Berdasarkan pemberitaan media massa yang terbit pada saat itu, sejak awal Januari 1983 Kodam Jaya telah memulai operasi pemberantasan kejahatan dengan nama “Operasi Celurit”. Petrus pertama kali dijalankan di Yogyakarta. Dalam operasi itu, Kodam Jaya berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Sudomo. Menurut keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27 Juli 1983, operasi itu tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk menginventarisasi nama-nama pelakunya. Sebuah buku biografi Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, didalamnya Soeharto membenarkan adanya ‘Petrus’. Beliau menjelaskan bahwa penembakan misterius itu sengaja dilakukan sebagai shock terapy. Dalam bukunya beliau menuturkan kalau Petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.[2]
Kebijakan ini bertujuan jelas untuk menekan laju kriminalitas, kejahatan, mafia yang merajalela, Gabungan Anak Liar (GALI), mereka sangat menganggu dan meresahkan masyarakat sehingga harus diberantas. Akan tetapi di sisi lain, apakah kebijakan ini dapat dibenarkan jika melihat korban yang terbunuh tidaklah sedikit, dan perlu dicatat bahwa mereka tanpa melewati proses hukum yang adil, apakah kebijakan ini bisa dikategorikan kebijakan yang melanggar hak-hak asasi manusia. Maka untuk menjawabnya Penulis akan menganalisis kasus ‘Petrus’ ini melalui sudut pandang hukum HAM.
Rumusan Masalah
Apakah kebijakan “Petrus” Soeharto bisa dibenarkan dengan alasan untuk menegakkan stabilitas keamanan dalam negeri?
Bagaimana hukum HAM memandang pelaksanaan kebijakan “Petrus” ini?
Kerangka Berpikir
Non-derogable rights
Hak Non-derogable rights dalam ICCPR adalah hak-hak yang bersifat absolut, yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara. Hak-hak yang termasuk dalam jenis ini adalah[3]:
1.      Hak atas hidup (rights to life)
2.      Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture)
3.      Hak bebas dari perbudakkan (rights to be free from slavery)
4.      Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian utang
5.      Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut
6.      Hak sebagai subjek hukum
7.      Hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama
            Dalam konstitusi negara Republik Indonesia, hak-hak yang termasuk dalam non-derogable rights diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang meliputi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Hipotesis
            Kebijakan “Petrus” adalah kebijakan yang melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Karena pembunuhan adalah bentuk pelanggaran HAM yakni hak untuk hidup (rights to life). Kebijakan ini mencerminkan negara pada saat itu membeda-bedakan hak warga negaranya sehingga nilai-nilai kemanusiaan dipinggirkan. Padahal negara adalah aktor penting dalam menghormati, menjaga, memajukan, dan melindungi hak-hak warga negaranya tanpa terkecuali.
Pembahasan
a.      Perjalanan “Petrus”
Tingkat kriminalitas sangat tinggi di era tahun 1980-an. Saat itu masyarakat gelisah jika bepergian keluar rumah karena para preman itu melakukan aksi kejahatan, memeras, hingga membunuh. Soeharto kemudian menginstruksikan dilakukannya sebuah operasi keamanan untuk membasmi para preman. Masyarakat yang sebelumnya takut keluar rumah, kembali menjalankan aktivitasnya tanpa takut diganggu para preman.[4] Presiden Soeharto mengakui tindakan tegas dengan jalan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan harus dilakukan sebagai sebuah treatment therapy. Mantan Pangkostrad itu bahkan menyatakan, tindakan tegas dengan cara ditembak suka tidak suka harus dilakukan kepada pelaku kejahatan yang melawan. Dalam buku otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya[5], Soeharto mengatakan:
“Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan.Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan tersebut

Petrus atau Operasi Clurit merupakan operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya pun tidak pernah ketahuan, sehingga dikenallah dengan nama Petrus (Penembak Misterius). Petrus berawal dari operasi pe­nang­gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng­har­gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber­ha­silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadap­an Rapim ABRI, Soehar­to meminta polisi dan ABRI mengambil lang­kah pemberantasan yang efektif me­ne­kan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pang­­­opkamtib Laksamana Soedomo da­lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja­ya, Kapolri, Kapolda, Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja­ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma­sing-masing kota dan provinsi lainnya. Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an­­taranya 15 orang tewas ditembak. Ta­hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an­taranya tewas ditembak. Para korban Pe­trus sendiri saat ditemukan masyarakat da­lam kondisi tangan dan lehernya te­ri­kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, didepan rumah, dibuang ke sungai, la­ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa­ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke­amanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali. Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet  yang punya rencana mengembangkannya.[6]

b.      Pernyataan Komnas HAM

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan bukti yang cukup adanya dugaan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa penembakan misterius (Petrus). Kesimpulan itu didapat oleh Komnas HAM setelah melakukan penyelidikan  projustisia atas kasus penembakan misterius, atau dikenal sebagai  petrus. Komisioner Komnas HAM, Yoseph  Adi Prasetyo, mengatakan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini  melihat pada konteks politik yang terjadi pada masa itu, ketika terjadi  meningginya angka kriminalitas yang disertai kekerasan dan adanya  sekelompok preman yang dianggap tidak loyal pada penguasa. Jenis kejahatan yang tercakup dalam kasus petrus ini adalah pembunuhan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan atau kebebasa fisik lain secara  sewenang-wenang dan penghilangan orang secara paksa. Sasaran korban dari penembakan misterius ini telah dipilih bahkan sudah ada daftar yang dibuat sebagai target operasi. Mereka dinyatakan sebagai penjahat, preman dan lebih sering  mantan residivis dengan ciri-ciri utama korban mempunyai tato. Namun tidak jarang korban justru tidak pernah melawan hukum dan menjadi  salah sasaran karena kebetulan mempunyai nama yang sama. Komnas HAM juga menjelaskan bahwa sebaran korban terjadi tidak hanya di satu wilayah namun terjadi juga di seluruh wilayah Jawa dan  Sumatra.[7]
Menurut penelitian David Bourchier, pelaku pembunuhan bertindak dalam konteks melaksanakan perintah jabatan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Republik Indonesia, yang juga berada di bawah komando Presiden Republik Indonesia. Selain pelaku yang memiliki kewenangan, ditemukan pula bukti adanya pelaku individu yang bertindak secara aktif dan disebut sebagai “operator”. Bukti tersebut diperkuat dengan bukti-bukti yang ada di lapangan, misalnya pada tali tambang dan kayu yang digunakan untuk mencekik korban. Menurut Yosep, alat untuk eksekusi tampak sudah dipersiapkan sebelumnya. Kayu pegangan dipotong dengan halus, bahkan diserut. Sedangkan jenis ikatan clove-hitch pada talinya menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang terlatih dan mengerti tali-temali. Setelah dibombardir protes, teknik pembunuhan pun berubah dari penembakan menjadi pencekikan dan berbagai cara penghilangan orang.Peristiwa Petrus juga ditandai dengan berbagai pola yang ditemukan pada tubuh mayat. Misalnya Mister X, julukan untuk orang yang ditemukan tanpa identitas, dalam keadaan tidak bernyawa dengan kedua tangan terikat di belakang. Mayat ditemukan dengan tiga luka tembakan di kepala atau mati karena tercekik.[8] Komnas HAM secara tegas menyatakan bahwa “Petrus” merupakan operasi keamanan yang melanggar HAM dan harus ditindaklanjuti secara hukum guna menangkap pelakunya. Tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan petrus adalah pelanggaran HAM berat.[9]
c.       Apakah “Petrus” bisa dibenarkan?
Penulis berasumsi dalam kasus Petrus ini, untuk pihak yang harus bertanggung jawab adalah pemerintahan saat itu, bertanggung jawab menjelaskan secara hukum dan sesuai konstitusi tentang yang sebenarnya menjadi tujuan “Petrus”. Karena memang saat itu, masyarakat tidak masalah dengan operasi ini, masyarakat justru diuntungkan karena kriminalitas bisa diatasi. Tetapi permasalahan yang timbul kemudian, apakah “Petrus” adalah jalan satu-satunya? Mengingat memang terjadi banyak argumen yang berbeda melihat kebijakan kontroversial ini.
Dipihak Komnas HAM bahwa rangkaian peristiwa penembakan misterius (petrus) yang menewaskan ribuan jiwa selama kurun 1982-1985 oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan luar biasa. Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, para pelaku Petrus adalah terdiri dari aparat militer dan sipil. Aparat militer seperti Koramil, Kodim, Kodam/Laksusda dan Garnizun. Mereka adalah pelaku yang melaksanakan perintah jabatan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia (Pangkopkamtib).[10]
Akan tetapi pemerintah saat itu berdalih operasi ini untuk menekan kriminalitas, menjaga keamanan masyarakat dan tidak melanggara HAM. Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia (Pangkopkamtib) lewat bapak Sudomo mengatakan bahwa Petrus adalah tindakan represif untuk preventif. Beliau mengatakan: Jadi kita melakukan tindakan dengan represif, tapi dia tidak diproses ke pengadilan, tapi tindakan represif ini tidak berarti bahwa kita menyalahi hukum, jadi dasarnya itu masih tetap konstitusi, demokrasi, hukum.[11]
            Melihat pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa pemerintah beralasan tindakan yang diputuskan untuk memberi jera itu merupakan tindakan represif yang tidak menyalahi konstitusi. Secara sosiologis dapat dipahami bahwa memang penanggulangan segala bentuk tindakan kriminal dapat dilakukan dengan cara preventif ataupun represif. Cara preventif adalah cara penanggulangan dengan pola mencegah, seperti imbauan atau penyuluhan. Cara represif adalah cara penanggulangan dengan pola keras, seperti penangkapan, pemenjaraan sampai dengan penembakan dan pembunuhan.[12]
            Disinyalir angka kriminalitas menurun drastis ketika “Petrus” dilaksanakan, bahkan masyarakat tidak menolak operasi keamanan ini.  Jika dilihat dari kacamata pemerintah dan tujuannya untuk mengamankan situasi dalam keseharian masyarakat yang tidak aman, “Petrus” adalah aksi cepat sebagai respon tersebut. Akan tetapi, tindakan represif tersebut seharusnya bukan main hakim sendiri, karena penjahat atau preman-preman tersebut harus menjalani proses hukum yang adil, bukan ditembak di tempat, mayat di pinggir jalan dan lain-lain. Proses hukum yang adil inilah yang menandakan negara berlaku adil dan “Petrus” tidak memenuhi poin ini.
            Memang benar kejahatan harus diberantas, akan tetapi upaya penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut[13]:
(1)   Sistem dan operasi Kepolisian yang baik.
(2)   Peradilan yang efektif.
(3)   Hukum dan perundang-undangan yang berwibawa.
(4)   Koordinasi antar penegak hukum dan aparatur pemerintah yang serasi.
(5)   Partisipasi masyarakat dalam penangulangan kejahatan.
(6)   Pengawasan dan kesiagaan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan.
(7)   Pembinaan organisasi kemasyarakatan.
            Persyaratan diatas jika melihat aplikasinya dalam “Petrus” sepertinya mengalami ketidaklurusan, dengan kata lain tindakan represif oleh aparat keamanan memberantas kejahatan berlangsung tidak sesuai konstitusi.  Jangan sampai tindakan represif ini menjadi bentuk ketidakpastian dan ketidakadilan penegakkan hukum era pemerintahan Soeharto.
Tetapi di era reformasi saat ini ternyata ada pemahaman yang berbeda dari pemerintahan di era SBY walaupun Komnas HAM tetap pada posisinya tegas mengatakan “Petrus” merupakan pelanggaran HAM berat. Dalam kasus penembakan misterius (Petrus) 1982-1985 misalnya, pada saat itu Sudomo yang menjabat sebagai Pangkopkamtib menggelar operasi untuk menertibkan preman bertatto dan pengemis di beberapa wilayah di Indonesia dengan tujuan untuk memerangi premanisme. Sehingga pemerintah justru terkesan melupakan tindakan-tindakan yang dilakukan para pelaku di masa lalu dengan memberikan apresiasi terhadap jasa-jasanya di masa lalu tanpa melihat akibat yang muncul dan dirasakan oleh para korban. Koordinator KontraS Haris Azhar mengatakan "Bahkan secara khusus, Presiden SBY dalam pernyataannya di media menyatakan bahwa Sudomo memiliki pengabdian yang tinggi bagi Negara semasa hidupnya.[14]
            Sehingga tidak mengherankan kasus pelanggaran HAM “Petrus” ini termasuk kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh proses hukum. Seperti pernyataan Adnan Buyung Nasution SH, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bahwa “Petrus” terkesan dilindungi oleh proses penyelidikan tindak pidana. Tidak ada hasil yang jelas dan tindakan nyata, mengusut tuntas kasus “Petrus”, hingga proses pengadilan. Tindakan kriminal “Petrus” termasuk bentuk pelanggaran hukum, tanpa ada proses pengadilan.
d.      Non-derogable Rights melihat “Petrus”
            “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
  1. Pembunuhan adalah melanggar hak untuk hidup[15]
Korban jiwa dalam peristiwa Penembakan Misterius periode 1982 sampai dengan 1985 tidak dapat dinyatakan secara pasti, karena tidak ada penghitungan resmi dan sah. Ada beragam penyebutan jumlah korban. Sementara itu fakta pembunuhan yang terjadi dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan 1985 di Jawa Tengah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Diambil oleh atau diduga oleh tentara atau polisi (terkadang dengan menggunakan teman untuk menjemput korban)
b. Diambil atau dieksekusi oleh orang yang tidak dikenal
c. Diambil dari tempat umum
 d. Tidak diketahui proses pembunuhannya
2. Perampasan kemerdekaan melanggar hak bebas dari perbudakkan (rights to be free from slavery)
Dari hasil penyelidikan Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan 1985 ini ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan  kemerdekaan secara sewenang-wenang. Bentuk lain dari perampasan ini adalah penangkapan tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dalam peristiwa penembakan misterius periode 1982 sampai dengan 1985 dilaksanakan dengan beberapa cara sebagai berikut:
a. Korban diambil dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak jelas identitasnya (biasanya korban dibawa dengan mobil)
b. Korban diambil dari rumahnya oleh polisi tanpa alasan yang jelas
c. Korban diambil oleh tentara
d. Korban diambil dari tempat umum
e. Korban di ambil dari tempat
Dalam laporan Komnas HAM menjelaskan bahwa 9 orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak memperkenalkan diri sehingga tidak diketahui identitasnya, bahkan sebagian menutupi identitasnya dengan menggunakan penutup kepala hitam ataupun cadar. Sebagian korban dijemput dari kediamannya pada tengah malam ataupun dini hari menjelang pagi. Setelah dijemput dari rumahnya, korban kemudian dibawa dengan menggunakan mobil. Saksi yang sebagian besar merupakan keluargakorban tidak mengetahui kemana korban-korban tersebut dibawa. Bukti dari saksi Petrus mempertegas bahwa dalam aspek hukum HAM yakni Hak Non-Derogable Rights telah dilanggar oleh “Petrus”.
Hak lain yang dilanggar adalah Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture). Tindak penyiksaan sebagai berikut:
1.    Mayat korban yang ditemukan terdapat ada bekas jeratan di lehernya seperti dijerat dengan plat besi.
2.    Alat kelamin korban dibakar oleh orang yang mengambilnya.
3.    Mayat korban yang ditemukan dengan bekas luka jeratan di leher dan kedua telapak tangan korban gosong.
4.    Pada mayat korban terdapat biru di dahi dan pipinya.
5.    Salah seorang saksi korban yang selamat memberikan kesaksian bahwa  setelah dijemput dari rumahnya, saksi dipukuli dengan menggunakan rotan dibagian punggungnya.
6.    Saksi korban yang selamat lainnya memberikan kesaksian bahwa pada saat dia berada ditahanan Satgas Intel, para tahanan ‘dipestakan’ kata lain dari  dipukuli oleh petugas dengan pemeriksaan. Bentuk penyiksaan lainnya adalah dijemur dengan hanya memakai celana dalam di atas semen di lantai dasar menghadap matahari dari pukul 10 pagi sampai dengan 2 siang, atau direndam sambil duduk di dalam bak yang berisi air setinggi hidung dan di atas kepala tahanan dipasang kayu yang diberi paku agar tahanan tidak berdiri.
7.    Mayat korban yang ditemukan terdapat luka lebar di bagian belakang kepala dan luka tembak di bagian depannya.
8.    Mayat korban yang ditemukan dalam keadaan telanjang, badan penuh pasir, pipi kiri kanan penuh luka-luka gores seperti tergores aspal, di leher ada lingkaran menghitam seperti bekas diseterum, kaki kanan dan kiri ada lubang-lubang kecil seperti ditusuk dengan benda kecil misalnya jari-jari sepeda, kemaluannya diikat dengan tali. Pada mayat korban yang ditemukan dengan luka tembak di bagian kepala dari arah belakang sehingga pada bagian muka ada lubang besar, luka  tembak di punggung.
Ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Bentuk lain dari perampasan ini adalah  penangkapan tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dilaksanakan dengan beberapa cara sebagai berikut:
1.      Korban diambil dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak jelas identitasnya (biasanya korban dibawa dengan mobil). Sembilan orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak memperkenalkan diri sehingga tidak diketahui identitasnya, bahkan sebagian menutupi identitasnya dengan menggunakan penutup kepala hitam ataupun cadar. Sebagian korban dijemput dari kediamannya pada tengah malam ataupun dini hari menjelang pagi. Setelah dijemput dari rumahnya, korban kemudian dibawa dengan menggunakan mobil. Saksi yang sebagian besar merupakan keluarga korban tidak mengetahui kemana korban-korban tersebut dibawa.
2.      Korban diambil dari rumahnya oleh polisi tanpa alasan yang jelas, 21 orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari rumahnya oleh petugas kepolisian atau orang yang diduga merupakan anggota kepolisian tanpa mengemukakan alasan yang jelas dan tidak menunjukansurat  penangkapan. Sebagian hanya menyatakan bahwa korban hanya dipinjam sebentar untuk sebuah urusan. Beberapa orang korban dijemput dengan paksa, bahkan ada yang dibawa dalam todongan pistol.
3.      Korban diambil oleh tentara. Sebelas orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari rumahnya atau diambil dari suatu tempat oleh tentara atau orang yang diduga merupakan anggota tentara yang tidak memperkenalkan identitasnya dan tidak menunjukkan surat penangkapan. Namun kemudian sebagian besar korban tersebut ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Korban diambil dari tempat umum. Empat orang saksi menyatakan bahwakorban telah diambil dari tempat umum dengan paksa.
4.      Korban di ambil dari tempat ditahan. Salah seorang saksi menyatakan bahwa salah satu korban Petrus diambil dari  Lembaga pemasyarakatan setelah sebelumnya ditahan selama beberapa bulanoleh orang yang tidak dikenal dan menggunakan tutup kepala.
Menimbang bukti dari laporan Komnas HAM diatas, “Petrus” bisa disebut telah melanggar hak Non-Derogable Rights yang telah Indonesia Ratifikasi dari ICCPR tersebut. Negara Indonesia telah meratifikasi konvensi ICCPR tahun 2005, walaupun sebenarnya ketentuan yang ada di ICCPR hampir sama dengan isi Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Walaupun baru diratifikasi tahun 2005, sedangkan “Petrus” adalah kasus tahun 1980-an, bukan berarti tidak bisa diadili. Karena pada dasarnya Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila secara lantang menegaskan bahwa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Termasuk dengan mengadili pelaku “Petrus” merupakan perwujudan dari nilai-nilai keadilan bangsa ini.

Kesimpulan
Kasus Petrus merupakan salah satu dari banyak kasus pelanggaran HAM bangsa Indonesia. Perlu diingat, korba-korban Petrus juga manusia, memang mereka melakukan kejahatan akan tetapi mereka patut hidup dan dilindungi oleh Negara. Jika mereka bersalah, maka harus diproses hukum yang adil. Jika ingin negara aman, maka perbaiki struktur aparat keamanan dan sistem perekonomian agar rakyat sejahtera. Kita negara yang memiliki dasar konstitusi yang jelas sebagai falsafah bangsa, maka jadikan itu tolak ukur untuk menghukum para preman tersebut. Sehingga operasi keamanan seperti “Petrus” ini yang jelas illegal tidak terulang kembali. Penulis menyimpulkan tidak ada hak sekalipun negara untuk melakukan pembunuhan dengan alasan menekan kriminalitas apabila peng-aplikasiannya “serampangan”.






[2] http://historia.id/modern/petrus-kisah-gelap-orba diakses pada tanggal 13 November 2015 pukul 18.33
[4] http://www.merdeka.com/peristiwa/pengakuan-pak-harto-soal-petrus.html diakses pada tanggal 10 Desember 2015 pukul 21.30
[5] G. Dwipayana dan Ramadhan KH terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1988.
[6] Kompas, 6 April 1983 dan Kompas, 30 April 1983 dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius#cite_note-3
[11] Youtube dalam ‘Mata Najwa’ Berangus ala Petrus. Dilihat di https://youtu.be/qTZlezqe5Hs pada tanggal 10 Desember 2015 pukul 11.55
[12] Dra. Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi. PT. Gelora Aksara Pratama. hal. 22-23
[13] Soejono, D., Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, hal 45
[14] http://kontras.org/home/index.php?module=berita&id=5395 diakses pada tanggal 11 Desember 2015 pukul 13.06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar