“Chapter 4 Failure to
Intervene in Rwanda”
Book: “Human
Rights and Humanitarian Norms, Strategic Framing, and Intervention”
Tugas Kuliah pada Mata Kuliah Politik Humanitarian Action dalam Ilmu Hubungan Internasional (Program Master UGM)
Tugas Kuliah pada Mata Kuliah Politik Humanitarian Action dalam Ilmu Hubungan Internasional (Program Master UGM)
SUMMARY
Latar Belakang
Konflik Rwanda adalah antara 2 kelompok utama yakni
Hutu dan Tutsi. Di tahun 1990, mengadopsi demokrasi tetapi tidak terencana
dengan baik. Pada bulan Oktober 1990 terjadi konflik sipil, ketika RPF (Tutsi Rwandan Patriotic Front) memprotes
Hutu untuk menepati janji penerapan demokrasi di Rwanda, dan memfasilitasi
500.000 Tutsi yang mengungsi di Uganda dan tempat lainnya. Di tahun 1993, UN
dan Organization of African (OAU)
menjadi penengah dalam gencatan senjata dan kesepakatan perdamaian, kesepakatan
yang dinamai The Arusha Peace Agreement,
dan adanya otoritas UNAMIR (United Nation
Assistance Mission for Rwanda). Di tahun 1994, kelompok garis keras diredam
aksinya lewat Perjanjian Arusah, akan tetapi UN cemas akan kegagalan perjanjian
ini. Tak lama setelah itu, ketegangan politik terjadi, tentara Rwanda
dipersenjatai oleh dengan dukungan NRMD. Terjadi pembalasan pembunuhan antara
Hutu dan Tutsi. Presiden Rwanda terbunuh oleh rudal di bandara Kigali.
Komunitas
Kemanusiaan Internasional di Rwanda
Sudah cukup lama, komunitas kemanusiaan
internasional fokus memberikan bantuan berupa makanan, bantuan media, dan
program pembangunan. Akan tetapi, karena situasi keamanan yang krisis, NGO dan
agen UN dievakuasi. Hanya tersisa ICRC dan 2 organisasi lainnya. Pada bulan Mei
1994, puluhan organisasi kemanusiaan beroperasi di sepanjang perbatasan
Burundi, Tanzania, Uganda, dan Zaire.
Human
Rights dan Norma Kemanusiaan, Membentuk Strategi di Rwanda
Antara April dan Juni 1994, NGO, Amerika, dan UN
membahas kebijakan tentang intervensi kemanusiaan di Rwanda terkait menghadapi
genosida di Rwanda. Sayangnya, stragegi gagal. UN dan Amerika mempertimbangkan
Rwanda sebagai Civil War atau Ancient Ethnic Hated. Amerika dan UN
menolak mengadopsi bentuk genosida di Rwanda. Pengambil kebijakan adanya
strategi NGOs untuk melihat krisis di Rwanda sebagai bentuk genosida segera
mengambil tindakan. Akan tetapi, usaha NGOs tidak berhasil hingga Mei 1994,
bulan genosida bagi Rwanda saat itu. Genosida gagal menjadi frame bagi Washington DC dan New York,
tetapi Human Rights Emergency akhirnya
menjadi frame dimana mendapatkan
traksi dari pengambil keputusan. Keadaan ini perlu dipahami sebagai bagian
sangat penting mengapa pengambilan keputusan kebijakan dalam krisis Rwanda
terkesan lamban.
Frame
yang berlaku: Ancient Ethnic Hated
atau Civil War
Amnesty Internasional dan Human Rights Watch
menekankan peringatan bahwa semakin memburuknya situasi keamanan di Rwanda.
Sedangkan UN baru sedikit bergerak ketika adanya insiden terbunuhnya Presiden
Rwanda karena di rudal. Adanya penggambaran media internasional berperan cukup
penting dalam kerangka strategis awal krisis. Keadaan semakin mencekam hingga
memaksa kantor kedutaan tutup. Dalam laporan ICRC kepada media internasional
bahwa 10.000 orang terbunuh di minggu pertama. Yang menjadi persoalan lain,
LSM-LSM rupanya tidak bersatu dalam pemahaman mereka bahwa genosida benar-benar
terjadi. Laporan Zacharias kepada Press
Association, ia mengkalim bahwa Tutsi secara tersistematis dibersihkan.
Secara kolektif, krisis Rwanda, perdebatan kebijakan
di Washington DC dan New York, sebagian besar tidak terpengaruh dengan upaya
LSM kemanusiaan dalam melihat krisis Rwanda. Upaya NGOs adalah fokus akan
kesalahan persepsi bahwa kekerasan di Rwanda hanya sebagai Tribalisme, dan
menyoroti krisis tujuan politik kelompok garis keras Hutu untuk melikuidasi
oposisi internal.
Di Washington DC, kongres untuk membahas Rwanda
dengan detail dihadapkan dengan harapan yang sangat rendah. Senator Robert Dole
menentang langkah-langkah kebijakan yang kuat menghadapi krisis Rwanda.
Negara-negara anggota mendukung penarikan penuh UNAMIR.
Ada 3 lobi yang dilakukan duta besar AS untuk PBB
yakni Maledein K. Albright):
- Memperluas UNAMIR menjadi misi penegakan
perdamaian dan menambah 1000 pasukan.
- Mengurangi pasukan UNAMIR menjasi 270 orang dan
membantu operasi perdamaian.
- Penarikan penuh UNAMIR dari Rwanda.
Aktor kemanusiaan gagal memaksimalkan 3 logika
pengambilan keputusan. Dewan Keamanan lewat Boutros-Ghali menyatakan bahwa
kekerasan di Rwanda tidak terhubung pada perencanaan Genosida, tapi hasil dari
kebuntuan politik. Kebijakan Amerika dan UN menghadapi kekerasan yang terjadi d
Rwanda tidak menimbang dimensi Human
Rights sebagai basis pemahaman dalam membuat keputusan.
Frame
Tantangan 1: Dari Ancient Ethnic
Hated/Civil War ke Civil War/Human
Rights
Pada tanggal 28-29 April 1994 ada sekitar 250.000
orang Rwanda ke Tanzania, ini merupakan jumlah pengungsi terbesar dan waktu
tercepat yang pernah ada, dan hampir 2 juta orang terlantar. Oxfam dan Human
Rights Watch mencirikan krisis Rwanda adalah bentuk genosida. NGOs mencoba
menghubungi kantor Administrasi Clinton untuk memobilisasi political will ke level yang lainnya. Policy-makers (UN dan Amerika) menghidupkan kembali Arusha Agreement. Kebijakan yang
diputuskan bukan melihat kekerasan Rwanda sebagai bentuk genosida tetapi
sebagai Civil War atau Human Rights Emergency. Di Washington
DC, frame genosida ditolak, sedangkan
Human Rights Emergency diresonansikan.
Pada Mei 1994 dilaksanakan Sidang Kongres Sesi
Pertama dengan tujuan mengungkap siapa membunuh siapa, UNAMIR, dan apa yang
bisa dilakukan Amerika di Rwanda. Di New York, Sekretaris Jenderal
memperingatkan bencana kemanusiaan di Rwanda, segera memulihkan UNAMIR dan
melakukan operasi perdamaian. Hak asasi manusia dan norma humanitarian menjadi referensi membuat misi baru di Rwanda. Dewan
Keamanan mengadopsi resolusi 918 (UNAMIR II) dengan mandat Chapter VII.
Frame
Tantangan 2: Dari Civil War/Human Rights Emergency ke Genosida
Amerika menghindari menggunakan term genosida di
kasus Rwanda. Pada bulan Juni 1994, SAVE-US menggunakan term genosida dengan
frase “Never Again” melobi Kantor
Administrasi Clinton. Pentagon juga masih tetap berpendapat, menentang
kekerasan di Rwanda adalah genosida dan menentang intervensi militer. Tetapi
NGOs sangat senang adanya UNAMIR II, namun disisi lain negara anggota UN gagal
menyediakan kebutuhan pasukan dan sumber daya untuk UNAMIR II.
Genosida berakhir pada bulan Juni 1994, ketika
pasuka RPF menguasai Kigali. Di saat ini, policy-makers (UN dan Amerika) menemukan
kepentingan baru untuk mendiskusikan opsi kebijakan di Rwanda. Post-Genocide, Amerika seperti berbeda
pandangan, tidak sperti pada bulan April dan Mei sebelumnya.
Hak asasi manusia dan norma kemanusiaan sangat
sedikit untuk membentuk pandangan policy-makers
untuk kebijakan menggunakan militer di konflik Rwanda.
Kesimpulan
- Sikap apatis policy-makers terhadap kekerasan yang terjadi di Rwanda.
- Kelambanan negara-negara kuat dan Dewan
Keamanan untuk menghentikan pembantaian.
- Konsep dalam Konvesi Genosida (Genocide Convention) terkait R2P
dalam kasus Rwanda ini menjadi kebijakan yang tidak terlalu serius.
- Pembuat kebijakan (UN dan Amerika) bingung dan
tidak terkoordinasi selama Rwandan
Genocide.
- Adanya pergeseran konseptual dalam respon
kebijakan genosida di level policy-makers.
- Krisis Rwanda berkembang pesat, sangat dramatis
dan situasi keamanan yang krisis mungkin telah menghambat clear framing dan bukti yang akan
memperkuat resonansi HAM dan norma kemanusiaan bagi policy-makers.
- Aktor kemanusiaan gagal untuk mengkoordinasikan
strategi mereka secara efektif sampai hampir pertengahan bulan Mei.
- Norma yang terbentuk dalam konflik Rwanda lebih
kuat kepada “Human Rights Emergency”
bukan Genosida.
ANALISIS
Intervensi militer sangat urgen dibutuhkan selama
periode konflik di Rwanda. Akan tetapi, penggunaan kekuatan militer yang
seharusnya dimandatkan oleh UN tidak melakukan perannya lebih cepat untuk
membantu menghentikan konflik antara Hutu dan Tutsi. Persoalan persepsi seperti
yang disebutkan dalam tulisan diatas menjadi faktor kunci kelambanan tindakan
tersebut. Menentukan apa yang terjadi di Rwanda apakah termasuk dalam Ancient Ethnic Hated atau Civil War atau Human Rights Emergency atau Genosida,
membuat penentu kebijakan (UN dan Amerika) berlarut-larut menyoalkan frame apa yang sesuai, khususnya policy-makers sangat menentang frame genosida di Rwanda. Sedangkan
disisi lain, NGOs, LSM, dan komunitas kemanusiaan internasional memainkan peran
yang juga penting mem-framing
strategi bahwa kekerasan di Rwanda bukan sekedar persoalan tribalisme tapi
kekerasan yang terencana dan tersistematis membersihkan etnis Tutsi oleh
kelompok garis keras Hutu, yang mana keadaan ini mencerminkan bentuk genosida. Keadaan
ini menjelaskan bahwa agregasi visi baik secara konseptual, teknis, dan
substansial dalam memandang dan menghadapi situasi konflik begitu krusial,
karena berdampak pada kemampuan policy-makers
untuk membuat langkah-langkah atau misi yang cepat tanggap.
Perlu usaha dan waktu yang terkesan lama ditengah
urgen dan krisisnya situasi keamanan di Rwanda, untuk menggerakkan UN dan
Amerika menghidupkan kembali UNAMIR II lewat Resolusi 918 dengan mandat Chapter
VII. Padahal kebutuhan yang sangat mendesak adalah intervensi kekuatan militer
yang masif dari UN dan Amerika di Rwanda mengingat setiap harinya sekitar
5000-10.000 orang mati. Ini terjadi karena kebingungan persepsi untuk
disepakati frame apa yang sebenarnya mewakili untuk kekerasan yang terjadi di Rwanda.
Amerika bahkan Pentagon menolak menggunakan
term genosida pada konflik Rwanda dan menolak intervensi militer di Rwanda.
Walaupun konflik Rwanda bukan konflik antar-state tapi internal state yang jauh
lebih kompleks, lantas apakah hal ini menjadi alasan untuk memutuskan dengan
lamban kebijakan apa yang sesuai untuk membantu menghentikan konflik di Rwanda.
Bukankah tujuan Dewan Keamanan terbentuk untuk mengupayakan perdamaian lewat
intervensi militer atau non-use a force.
Sikap UN dan Amerika ini membuat kita berpikir bahwa aspek HAM dan norma
kemanusiaan sebagai basis dalam memahami konflik di Rwanda tergerus dengan
kepentingan politik di Washington DC dan New York. Sayangnya, aspek HAM yang inheren
dan universal sepertinya tidak berlaku bagi masyarakat sipil di Rwanda yang
tewas dan mendapatkan perlakuan kejam. Rasanya percuma ada instrumen HAM
internasional, konvensi HAM dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar