Rabu, 23 Maret 2016

Kegagalan Intervensi di Rwanda

“Chapter 4 Failure to Intervene in Rwanda”
Book: “Human Rights and Humanitarian Norms, Strategic Framing, and Intervention”
Tugas Kuliah pada Mata Kuliah Politik Humanitarian Action dalam Ilmu Hubungan Internasional (Program Master UGM)

SUMMARY
Latar Belakang
Konflik Rwanda adalah antara 2 kelompok utama yakni Hutu dan Tutsi. Di tahun 1990, mengadopsi demokrasi tetapi tidak terencana dengan baik. Pada bulan Oktober 1990 terjadi konflik sipil, ketika RPF (Tutsi Rwandan Patriotic Front) memprotes Hutu untuk menepati janji penerapan demokrasi di Rwanda, dan memfasilitasi 500.000 Tutsi yang mengungsi di Uganda dan tempat lainnya. Di tahun 1993, UN dan Organization of African (OAU) menjadi penengah dalam gencatan senjata dan kesepakatan perdamaian, kesepakatan yang dinamai The Arusha Peace Agreement, dan adanya otoritas UNAMIR (United Nation Assistance Mission for Rwanda). Di tahun 1994, kelompok garis keras diredam aksinya lewat Perjanjian Arusah, akan tetapi UN cemas akan kegagalan perjanjian ini. Tak lama setelah itu, ketegangan politik terjadi, tentara Rwanda dipersenjatai oleh dengan dukungan NRMD. Terjadi pembalasan pembunuhan antara Hutu dan Tutsi. Presiden Rwanda terbunuh oleh rudal di bandara Kigali.
Komunitas Kemanusiaan Internasional di Rwanda
Sudah cukup lama, komunitas kemanusiaan internasional fokus memberikan bantuan berupa makanan, bantuan media, dan program pembangunan. Akan tetapi, karena situasi keamanan yang krisis, NGO dan agen UN dievakuasi. Hanya tersisa ICRC dan 2 organisasi lainnya. Pada bulan Mei 1994, puluhan organisasi kemanusiaan beroperasi di sepanjang perbatasan Burundi, Tanzania, Uganda, dan Zaire.
Human Rights dan Norma Kemanusiaan, Membentuk Strategi di Rwanda
Antara April dan Juni 1994, NGO, Amerika, dan UN membahas kebijakan tentang intervensi kemanusiaan di Rwanda terkait menghadapi genosida di Rwanda. Sayangnya, stragegi gagal. UN dan Amerika mempertimbangkan Rwanda sebagai Civil War atau Ancient Ethnic Hated. Amerika dan UN menolak mengadopsi bentuk genosida di Rwanda. Pengambil kebijakan adanya strategi NGOs untuk melihat krisis di Rwanda sebagai bentuk genosida segera mengambil tindakan. Akan tetapi, usaha NGOs tidak berhasil hingga Mei 1994, bulan genosida bagi Rwanda saat itu. Genosida gagal menjadi frame bagi Washington DC dan New York, tetapi Human Rights Emergency akhirnya menjadi frame dimana mendapatkan traksi dari pengambil keputusan. Keadaan ini perlu dipahami sebagai bagian sangat penting mengapa pengambilan keputusan kebijakan dalam krisis Rwanda terkesan lamban.
Frame yang berlaku: Ancient Ethnic Hated atau Civil War
Amnesty Internasional dan Human Rights Watch menekankan peringatan bahwa semakin memburuknya situasi keamanan di Rwanda. Sedangkan UN baru sedikit bergerak ketika adanya insiden terbunuhnya Presiden Rwanda karena di rudal. Adanya penggambaran media internasional berperan cukup penting dalam kerangka strategis awal krisis. Keadaan semakin mencekam hingga memaksa kantor kedutaan tutup. Dalam laporan ICRC kepada media internasional bahwa 10.000 orang terbunuh di minggu pertama. Yang menjadi persoalan lain, LSM-LSM rupanya tidak bersatu dalam pemahaman mereka bahwa genosida benar-benar terjadi. Laporan Zacharias kepada Press Association, ia mengkalim bahwa Tutsi secara tersistematis dibersihkan.
Secara kolektif, krisis Rwanda, perdebatan kebijakan di Washington DC dan New York, sebagian besar tidak terpengaruh dengan upaya LSM kemanusiaan dalam melihat krisis Rwanda. Upaya NGOs adalah fokus akan kesalahan persepsi bahwa kekerasan di Rwanda hanya sebagai Tribalisme, dan menyoroti krisis tujuan politik kelompok garis keras Hutu untuk melikuidasi oposisi internal.
Di Washington DC, kongres untuk membahas Rwanda dengan detail dihadapkan dengan harapan yang sangat rendah. Senator Robert Dole menentang langkah-langkah kebijakan yang kuat menghadapi krisis Rwanda. Negara-negara anggota mendukung penarikan penuh UNAMIR.
Ada 3 lobi yang dilakukan duta besar AS untuk PBB yakni Maledein K. Albright):
  1. Memperluas UNAMIR menjadi misi penegakan perdamaian dan menambah 1000 pasukan.
  2. Mengurangi pasukan UNAMIR menjasi 270 orang dan membantu operasi perdamaian.
  3. Penarikan penuh UNAMIR dari Rwanda.
Aktor kemanusiaan gagal memaksimalkan 3 logika pengambilan keputusan. Dewan Keamanan lewat Boutros-Ghali menyatakan bahwa kekerasan di Rwanda tidak terhubung pada perencanaan Genosida, tapi hasil dari kebuntuan politik. Kebijakan Amerika dan UN menghadapi kekerasan yang terjadi d Rwanda tidak menimbang dimensi Human Rights sebagai basis pemahaman dalam membuat keputusan.
Frame Tantangan 1: Dari Ancient Ethnic Hated/Civil War ke Civil War/Human Rights
Pada tanggal 28-29 April 1994 ada sekitar 250.000 orang Rwanda ke Tanzania, ini merupakan jumlah pengungsi terbesar dan waktu tercepat yang pernah ada, dan hampir 2 juta orang terlantar. Oxfam dan Human Rights Watch mencirikan krisis Rwanda adalah bentuk genosida. NGOs mencoba menghubungi kantor Administrasi Clinton untuk memobilisasi political will ke level yang lainnya. Policy-makers (UN dan Amerika) menghidupkan kembali Arusha Agreement. Kebijakan yang diputuskan bukan melihat kekerasan Rwanda sebagai bentuk genosida tetapi sebagai Civil War atau Human Rights Emergency. Di Washington DC, frame genosida ditolak, sedangkan Human Rights Emergency diresonansikan.
Pada Mei 1994 dilaksanakan Sidang Kongres Sesi Pertama dengan tujuan mengungkap siapa membunuh siapa, UNAMIR, dan apa yang bisa dilakukan Amerika di Rwanda. Di New York, Sekretaris Jenderal memperingatkan bencana kemanusiaan di Rwanda, segera memulihkan UNAMIR dan melakukan operasi perdamaian. Hak asasi manusia dan norma humanitarian menjadi referensi membuat misi baru di Rwanda. Dewan Keamanan mengadopsi resolusi 918 (UNAMIR II) dengan mandat Chapter VII.
Frame Tantangan 2: Dari Civil War/Human Rights Emergency ke Genosida
Amerika menghindari menggunakan term genosida di kasus Rwanda. Pada bulan Juni 1994, SAVE-US menggunakan term genosida dengan frase “Never Again” melobi Kantor Administrasi Clinton. Pentagon juga masih tetap berpendapat, menentang kekerasan di Rwanda adalah genosida dan menentang intervensi militer. Tetapi NGOs sangat senang adanya UNAMIR II, namun disisi lain negara anggota UN gagal menyediakan kebutuhan pasukan dan sumber daya untuk UNAMIR II.
Genosida berakhir pada bulan Juni 1994, ketika pasuka RPF menguasai Kigali. Di saat ini, policy-makers (UN dan Amerika) menemukan kepentingan baru untuk mendiskusikan opsi kebijakan di Rwanda. Post-Genocide, Amerika seperti berbeda pandangan, tidak sperti pada bulan April dan Mei sebelumnya.
Hak asasi manusia dan norma kemanusiaan sangat sedikit untuk membentuk pandangan policy-makers untuk kebijakan menggunakan militer di konflik Rwanda.
Kesimpulan
  • Sikap apatis policy-makers terhadap kekerasan yang terjadi di Rwanda.
  • Kelambanan negara-negara kuat dan Dewan Keamanan untuk menghentikan pembantaian.
  • Konsep dalam Konvesi Genosida (Genocide Convention) terkait R2P dalam kasus Rwanda ini menjadi kebijakan yang tidak terlalu serius.
  • Pembuat kebijakan (UN dan Amerika) bingung dan tidak terkoordinasi selama Rwandan Genocide.
  • Adanya pergeseran konseptual dalam respon kebijakan genosida di level policy-makers.
  • Krisis Rwanda berkembang pesat, sangat dramatis dan situasi keamanan yang krisis mungkin telah menghambat clear framing dan bukti yang akan memperkuat resonansi HAM dan norma kemanusiaan bagi policy-makers.
  • Aktor kemanusiaan gagal untuk mengkoordinasikan strategi mereka secara efektif sampai hampir pertengahan bulan Mei.
  • Norma yang terbentuk dalam konflik Rwanda lebih kuat kepada “Human Rights Emergency” bukan Genosida.


ANALISIS
Intervensi militer sangat urgen dibutuhkan selama periode konflik di Rwanda. Akan tetapi, penggunaan kekuatan militer yang seharusnya dimandatkan oleh UN tidak melakukan perannya lebih cepat untuk membantu menghentikan konflik antara Hutu dan Tutsi. Persoalan persepsi seperti yang disebutkan dalam tulisan diatas menjadi faktor kunci kelambanan tindakan tersebut. Menentukan apa yang terjadi di Rwanda apakah termasuk dalam Ancient Ethnic Hated atau Civil War atau Human Rights Emergency atau Genosida, membuat penentu kebijakan (UN dan Amerika) berlarut-larut menyoalkan frame apa yang sesuai, khususnya policy-makers sangat menentang frame genosida di Rwanda. Sedangkan disisi lain, NGOs, LSM, dan komunitas kemanusiaan internasional memainkan peran yang juga penting mem-framing strategi bahwa kekerasan di Rwanda bukan sekedar persoalan tribalisme tapi kekerasan yang terencana dan tersistematis membersihkan etnis Tutsi oleh kelompok garis keras Hutu, yang mana keadaan ini mencerminkan bentuk genosida. Keadaan ini menjelaskan bahwa agregasi visi baik secara konseptual, teknis, dan substansial dalam memandang dan menghadapi situasi konflik begitu krusial, karena berdampak pada kemampuan policy-makers untuk membuat langkah-langkah atau misi yang cepat tanggap.

Perlu usaha dan waktu yang terkesan lama ditengah urgen dan krisisnya situasi keamanan di Rwanda, untuk menggerakkan UN dan Amerika menghidupkan kembali UNAMIR II lewat Resolusi 918 dengan mandat Chapter VII. Padahal kebutuhan yang sangat mendesak adalah intervensi kekuatan militer yang masif dari UN dan Amerika di Rwanda mengingat setiap harinya sekitar 5000-10.000 orang mati. Ini terjadi karena kebingungan persepsi untuk disepakati frame apa yang sebenarnya mewakili untuk kekerasan yang terjadi di Rwanda. Amerika bahkan Pentagon menolak menggunakan term genosida pada konflik Rwanda dan menolak intervensi militer di Rwanda. Walaupun konflik Rwanda bukan konflik antar-state tapi internal state yang jauh lebih kompleks, lantas apakah hal ini menjadi alasan untuk memutuskan dengan lamban kebijakan apa yang sesuai untuk membantu menghentikan konflik di Rwanda. Bukankah tujuan Dewan Keamanan terbentuk untuk mengupayakan perdamaian lewat intervensi militer atau non-use a force. Sikap UN dan Amerika ini membuat kita berpikir bahwa aspek HAM dan norma kemanusiaan sebagai basis dalam memahami konflik di Rwanda tergerus dengan kepentingan politik di Washington DC dan New York. Sayangnya, aspek HAM yang inheren dan universal sepertinya tidak berlaku bagi masyarakat sipil di Rwanda yang tewas dan mendapatkan perlakuan kejam. Rasanya percuma ada instrumen HAM internasional, konvensi HAM dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar