Rabu, 23 Maret 2016

Gaya Kepemimpinan Bush dan Obama

Tak perlu dipertanyakan lagi bahwa hegemoni politik internasional pasca Perang Dingin (Cold War), Amerika Serikat keluar menjadi pemenang dengan kata lain sebagai negara adikuasa didunia. Dibalik terjangan kekuasaan (power) Amerika Serikat didunia, tidak dapat dipungkiri sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan (decisions making) pemimpinnya hingga sekarang. Walaupun beberapa tahun terakhir, tepatnya tahun 2008, AS mengalami krisis keuangan global (crisis financial) yang dampaknya dirasakan hampir seluruh negara Eropa dan Asia, tetapi kebangkitan AS tak perlu waktu lama. Barack Obama yang berasal dari Partai Demokrat menjadi presiden AS untuk kedua kalinya ini, cukup cepat mengambil langkah-langkah konkret untuk pemulihan ekonomi AS. Kita kembali sejenak pada masa AS dipimpin oleh George Walker Bush, Presiden AS ke-43 dari Partai Republik ini dapat dikatakan kontroversial karena isu sentralnya yakni “Perang Melawan Terorisme” dan “Perang Irak”. Demokratisasi menjadi hal penting dalam politik luar negeri George W. Bush setelah peristiwa WTC 11 September 2001 yang menewaskan banyak warga sipil. Baik George W. Bush dan Barack Obama, tentu memiliki perbedaan yang secara eksplisit ataupun implisit terkait gaya kepemimpinan dalam kebijakan luar negeri yang diterapkan pada masa pemerintahan masing-masing. Sehingga tidak ada salahnya, jika Penulis tertarik menjelaskan perbedaan kedua penakluk AS ini.
Faktor kepemimpinan menjadi hal penting untuk menentukan kearah mana sebuah negara akan mengukuhkan posisinya. Termasuk AS, sebagai negara besar dan maju banyak persoalan baik dalam dan luar negeri yang penyelesaiannya sangat bergantung pada sosok pemimpin. Dan setiap pemimpin memiliki perbedaan dalam memimpin sebuah negara. George W. Bush sebagai Presiden AS tahun 2000-2008 dan Barack Obama sebagai Presiden AS tahun 2008-sekarang memiliki perbedaan-perbedaan dalam mengambil keputusan terkait kebijakan luar negeri masing-masing. George Walker Bush (Partai Republik) dan Barack Obama (Partai Demokrat), kedua pemimpin ini menjadikan negara-negara Islam sebagai obyek kebijakan luar negeri dan terdapat perbedaan dominan dari pola kebijakan luar negeri yang dijalankannya, Bush cenderung hard diplomacy, sedangkan Obama cenderung soft diplomacy. Bush sebagai aktor rasional kemudian berupaya menjalankan kebijakan secara nyata melalui tindakan-tindakan “hard diplomacy” yang ditujukan sebagai strategi dalam mencapai stabilitas keamanan dalam negeri, regional (kewilayahan) dan internasional. Bentuk hard diplomacy yang dijalankan George W. Bush diwujudkan melalui invasi ke Irak dan Afghanistan tahun 2003. Realisasi soft diplomacy yang dijalankan Obama antara lain melalui pelibatan aktor-aktor non-pemerintah, pendekatan-pendekatan yang bersifat normatif, kunjungan kenegaraan dan forum-forum pembicaraan terhadap negara-negara Islam yang semakin intensif dan lain-lainnya. Barack Obama menanggapi partisipasinya dalam invasi ke Irak dan Afghanistan tahun 2003 juga menjalankan pendekatan-pendekatan secara komprehensif dan proporsional.[1] Bush juga mengubah secara radikal kebijakan dalam negerinya. Ia membangun birokrasi baru yang besar, yakni The Department of Homeland Security. Kekuasaan pemerintahan federal juga tampak di bidang pendidikan dan memperluas peranan Kejaksaan Agung untuk menangkap warga yang dituduh sebagai teroris. Perubahan kebijakan ini makin meningkatkan kesetiaan kepada partai dan menambah banyaknya opini yang ekstrem. Yang termarginalkan adalah kelompok liberal sentris.[2] Namun ada sisi lain dari Obama yang tidak dimiliki oleh Bush yakni semakin melunaknya hubungan bilateral AS-Indonesia, karena Obama kecil dahulu pernah tinggal di Indonesia sehingga secara tidak langsung menciptakan harmonisasi hubungan kedua negara. Hal ini juga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi global Indonesia melalui perdagangan sektor pertambangan, migas dan sektor-sektor lainnya. Keadaan ini didukung pula oleh Ekonom Standard Chartered Bank Eric Alexander Sugandi yang mengungkapkan selama ini kebijakan luar negeri Obama lebih merangkul ke Asia pasifik. “Sehingga dampak positif bagi Indonesia adalah arah hubungan atau kerjasama dengan Indonesia akan berlanjut,".[3] Kebijakan luar negeri Obama mulai bergeser pada posisi bukan lagi militeristik melainkan lebih mengusung isu-isu yang lebih bersifat multilateralisme. Ini dibuktikan Presiden Obama mulai membuka hubungan baik pada dunia Muslim, peningkatan kerjasama ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya. Tidak seperti Bush yang sangat kental dengan isu-isu militer, senjata dan keamanan.
Namun seorang politikus terkenal di Indonesia Pak Amien Rais mematahkan adanya perbedaan antara Bush dan Obama. Inilah wawancara Amien Rais yang dimuat Republika, Rabu (4/5/2011):
“Apa sesungguhnya motif AS di balik perang atas nama melawan terorisme?”.
Yang tidak boleh kita lupakan sesungguhnya perang melawan terorisme hanyalah sebuah dalih dari politik AS yang bersifat hegemonik, supremasif, dan imperialistik. Dalam hal ini, Presiden Obama persis sama dengan Bush (Presiden AS sebelumnya, George W Bush-Red). Kita jangan terkecoh oleh retorika dan mimik body language. Obama yang kadang-kadang memunculkan simpati bagi banyak kalangan. Saya berbeda dengan banyak kalangan karena buat saya, Obama tidak kurang dan tidak lebih persis melanjutkan politik luar negeri George Bush , sekalipun polesan kata-katanya lebih lembut dan mengecoh publik opini dunia”.
Jadi yang dapat disimpulkan dari penjelasan diatas, bahwa keberadaan sosok pemimpin sangat mempengaruhi bagaimana sistem pemerintahan suatu negara dilaksanakan, dengan kata lain, keberhasilan atau kekuatan suatu negara sangat ditentukan bagaimana pemimpinnya bersikap. AS menjadi contoh negara superpower yang memiliki beragam gaya kepemimpinan, seperti George W. Bush dengan gaya pemimpin militeristik dan Barack Obama yang cenderung mulai melakukan kerjasama-kerjasama lebih bersifat multilateralistik. Pada dasarnya kembali lagi ke falsafah negara bahwa kekuatan suatu negara berpondasi pada ideologi bangsa, kesatuan, dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta kehidupan rakyat yang sejahtera.



[1] http://repository.upnyk.ac.id/1415/: WIDIYANTO, Hari Agung (2011) PERBANDINGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP NEGARA-NEGARA ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN GEORGE WALKER BUSH DAN BARACK OBAMA. Other thesis, UPN "VETERAN" YOGYAKARTA.
[2] Suzie Sri Suparin S. Sudarman. “Pemerintahan Bush Kedua: ‘Empire of Liberty’”. Diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/01/24/KL/mbm.20050124.KL100933.id.html
[3] http://theglobejournal.com/ekonomi/terpilihnya-obama-dampak-positif-perekonomian-indonesia/index.php

KONFLIK VERTIKAL: UMAT MUSLIM MELAYU PATTANI DI THAILAND

Tulisan ini merupakan Tugas Makalah pada Mata Kuliah Resolusi Konflik (Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional UMY)

PENDAHULUAN
Ancaman merupakan suatu hal yang wajar dan banyak di dapati di berbagai Negara di dunia, baik itu internal maupun eksternal. Untuk kawasan yang memiliki tingkat pluralitas tinggi ancaman internal di kawasan itu sendiri tidak jauh dari munculnya gerakan separatisme. Terorisme serta pemberontakan. Penyebab separatisme biasanya karena faktor politik, dimana tujuan politik tersebut tidak lain adalah pemisahan diri atau kemerdekaan bagi kawasannya. Perbedaan kelas dan juga suku atau identitas-identitas kebudayaan serta agama kadangkala digunakan sebagai tempat bersembunyi. Pemberontakan adalah salah satu dari banyak bahan terciptanya separatisme. Tahapan awal biasanya dimulai dengan munculnya gerakan politik. Kemudian mencapai tahapan pemberontakan atau fase konflik kekerasan. Untuk pemberontakan sendiri terbagi dalam tiga kategori. Pertama, tahap pemusuhan tingkat rendah yang sebagai contohnya adalah pemberontakan suku Kurdi di Turki. Kedua, permusuhan tingkat tinggi seperti dalam kasus Palestina yang telah sampai pada rencana pembunuhan presiden Yasser Arafat dan tokoh-tokoh HAMAS. Ketiga, yaitu campuran antara konflik dan perundingan atau talk-fight. Kasus di Karen Myanmar, Moro Filipina dan Pattani Thailand Selatan dapat dikategorikan dalam kategori ini. Dapat dilihat bahwa mereka tengah berada pada masa transisi dari konflik kekerasan menuju meja perundingan. Entah dengan hasil yang positif atau negatif.
Terdapat empat faktor yang melatarbelakangi kemunculan konflik etnis seperti separatisme. Diantaranya adalah :
  1. Adanya Negara dengan karakter  satu etnis saja atau mono-ethnic
  2. Asimilasi dan sentralisasikarakter melalui upaya penetrasi Negara
  3. Pergeseran kesadaran umum
  4. Elit yang mencari legitimasi[1]
Brown (1988) dalam bukunya menjelaskan tentang beberapa perspektif yang dapat digunakan untuk memahami konflik etnis. Konflik etnis akan rentan terjadi pada Negara baru terlebih jika Negara tersebut merupakan Negara bekas jajahan rezim colonial yang kuat. Perspektif yang lain terfokus pada aktifitas upaya manipulatif para etnis minoritas yang berusaha untuk mempromosikan kepentingan individunya sendiri dengan cara menonjolkan sisi etnisitasnya. Gerakan separatisme muncul dalam komplikasi situasi dan kondisi tertentu, sehingga perlu dilihat lebih jauh lagi kondisi seperti apa yang secara eksklusif menyebabkan kemunculan gerakan atau kelompok separatisme. Brown juga mengatakan bahwa separatisme merupakan pemberontakan yang komunal yang pemberontakan tersebut terjadi pada etnis minoritas.
Terkait dengan separatisme, di negeri gajah putih juga terjadi gerakan separatisme tepatnya di wilayah Pattani, Thailand Selatan. Yang mana pemerintah Thailand mengupayakan asimilasi, menetapkan Thai-Budha sebagai satu kebudayaan nasional. Masyarakat Pattani yang notabennya merupakan masyarakat Melayu-Islam juga harus menerapkan kebijakan tersebut. Jika dibandingkan dengan masyarakat Thai-Budha atau Thai-Cina, masyarakat Melayu-Islam tidak mendapatkan pendidikan formal yang baik. Mereka juga tidak memiliki elit yang merepresentasikan suara masyarakat Thai-Islam. gerakan separatisme di Thailand muncul pada sekitar tahun 1970, seperti PULO (Pattani United Liberation Organization), BNPP, dan BRN. Separatisme di Pattani sendiri khususnya mendapatkan dukungan dari Negara Timur Tengah dan juga Negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Yang mana penjelasan mendalam mengenai konflik separatisme di Pattani, Thailand Selatan akan dijelaskan pada bagian berikut ini.
            Sejak Negara ini berdiri, Negara ini tidak pernah dijajah oleh bangsa kolonial manapun. Oleh karena itu, Negara ini dinamakan “Thailand” yang artinya negeri orang merdeka. Secara astronomis Negara ini terletak antara 5°32ʹ LU- 20°28ʹLU dan 97°21ʹBT - 106°BT. Batas-batas geografis Thailand yaitu sebelah utara berbatasan dengan Myanmar dan Laos, sebelah selatan berbatasan dengan Negara Malaysia dan Teluk Siam, sebelah barat berbatasan dengan Myanmar dan laut Andaman, dan sebelah timur berbatasan dengan Negara Laos dan Kamboja.
Thailand atau yang biasa disebut Muang Thai merupakan salah satu Negara Asia tenggara yang secara resmi tidak pernah dijajah oleh Negara lain. Sistem kerajaan (Monarki) tetap berlangsung atau bertahan sampai saat ini karena sistem ini mapu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman modern. Misalnya pembatasan kekuasaan absolut raja dengan memberlakukan konstitusi Thailand (sejak 1932). Agama resmi kerajaan adalah agama Buddha. Sekalipun secara resmi hukum yang berlaku adalah adaptasi dari hukum sipil Eropa yang sekuler, agama Buddha telah mempengaruhi keseluruhan perilaku kehidupan masyarakat Thai, khususnya dalam bidang pendidikan, hukum personal, dan dalam upacara-upacara resmi kerajaan. Vihara dan patung-patung Sidharta Buddha Gautama dan berbagai aksesoris ritual agama Buddha Teravada ditemukan dimana-mana.
Umat Islam secara demografis jumlahnya cukup kecil, tetapi menjadi begitu penting karena beberapa provinsi di wilayah Selatan Thailand yang berbatasan dengan Malaysia beragama Islam dan memiliki Radikalisme tinggi dan bahkan semangat separatisme yaitu memisahkan diri dari Thailand. Membicarakan Islam di Thailand, tidak mungkin tanpa sebelumnya membicarakan Kerajaan Patani, karena keberadaan Islam diawali atau bermula sejak munculnya Kerajaan Patani. Sejarah Islam di Thailand khususnya di kawasan Selatan Thailand, pada saat Thailand masih bernama kerajaan Siam, tepatnya dibawah kekuasaan dinasti Ayutthaya (1350-1767). Saat itu kawasan Selatan Thailand masih berada dalam naungan Kerajaan Melayu Muslim yaitu Kerajaan Muslim Patani. Raja Muslim Patani yang pertama adalah Ismailsyah. Pada tahun 1603 Kerajaan Ayutthaya menyerang Pattani, tetapi bisa digagalkan oleh tentara kerajaan Pattani. Namun, setelah berperang selama hampir setengah abad, dan memasuki abad ke -19 akhirnya Patani dikalahkan kembali oleh Siam. Hal ini didukung oleh Kolonial Inggris yang mana pada tahun 1909 mengakui daerah-daerah Selatan itu sebagai bagian dari kawasan Kerajaan Siam. Pada tahun yang sama juga, Inggris dan Siam menandatangani perjanjian yang berisi pengakuan Inggris terhadap kekuasaan Siam di Patani. Dalam perjanjian itu dijelaskan secara tegas mengenai batas wilayah Kerajaan Siam dan Semenanjung Melayu. Dan garis batas yang disepakati dalam perjanjian tersebut sekarang menjadi daerah batas antara Negara Malaysia dan Thailand. Pada saat Pattani dikuasai oleh kerajaan Siam, menginginkan kerajaan Pattani dihapus pada tahun 1873 M, namun banyak yang memberontak. Akan tetapi, Kerajaan Siam tidak menggubris dan justru mulai membagi-bagi wilayah kerajaan Pattani menjadi beberapa unit kerajaan dengan nama Bariwen. Unit-unit kerajaan itu adalah Pattani, Narathiwat, Yala, Saeburi, dan Setul. Pada tahun 1909 M, Inggris mengakui daerah-daerah selatan itu sebagai bagian dari kawasan kerajaan Siam. Pada tahun 1939 M, kerajaan Siam berubah menjadi Muang thai (Thailand).


Bahasa Siam menjadi bahasa kebangsaan di Thailand dan juga berlaku untuk kawasan selatan Thailand yang sudah akrab dengan bahasa Melayu. Huruf-huruf Arab Melayu dilarang penggunaannya di sekolah-sekolah dan di kantor pemerintahan. Semua diganti dengan huruf Siam yang berasal dari Palawa. Semenjak dihapusnya Muslim Pattani oleh kerajaan Siam, wilayah Selatan Thailand selalu rawan konflik. Kerajaan Melayu Pattani mengalami masa kejayaannya pada masa pemerintahan raja-raja perempuan (1584-1624). Pada masa itu Patani telah muncul sebagai pusat perdagangan. Ijzerman, seorang pedagang Belanda menyatakan bahwa Patani adalah “pintu masuk” ke wilayah Cina selatan. Namun, Kerajaan Patani mengalami kemerosotan, disebabkan oleh konflik perebutan kekuasaan antara sesama pewaris kerajaan. Intensitas perang saudara yang kerap terjadi menyebabkan situasi keamanan tidak terjamin sehingga Patani tidak lagi menjadi tumpuan pedagang. Hal ini terus berlanjut sampai abad ke-18. Phraya Chakri, Raja Siam yang baru saja mengalahkan Burma di Ayuthia, menyerang dan menundukkan Patani pada 1785. Dalam peperangan ini, Sultan Muhammad, penguasa Patani pada waktu itu beserta ribuan rakyatnya telah syahid dan lainnya ditawan dan dibawa ke Bangkok. Kemudian, Tengku Lamidin, raja Bendang Badan, dilantik oleh Siam sebagai Raja Patani yang baru. akan tetapi, pada 1791, Tengku Lamidin dibantu oleh Raja Annam yang beragama Islam, Okphaya Cho So, dan Syekh Abdul Kamal berbalik melawan Siam. Namun, pemberontakan ini gagal. Kemudian, pihak Siam melantik Datok Pengkalan sebagai raja Patani yang baru. Namun ternyata Datuk Pengkalan juga memberontak melawan Siam pada tahun 1808, meskipun pemberontakan ini juga mengalami kegagalan.[2]
Setelah itu Kerajaan Patani berada di bawah kendali kekuasaan Siam, meskipun Kerajaan Patani masih diberi otonomi untuk mengurus pemerintahannya sendiri. Kebijakan-kebijakan pemerintah Thailand yang merugikan pada masyarakat Muslim inilah yang menimbulkan keinginan untuk memisahkan diri dari Thailand, kemudian muncullah gerakan-gerakan yang mengusung Separatisme di wilayah Thailand Selatan terutama Patani. Perlawanan yang terdapat di Patani tersebut diantaranya Pattani United Liberation Organization (PULO), gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP), Barisan Revolusi Nasional/Coordinate (BRN/C), dan Gerakan Rakyat Patani (GRP) yang didirikan oleh Haji Sulong. Gerakan tersebut merupakan gerakan separatis yang mengusung Separatis Thai - Muslim. sejak akhir tahun 1960-an, masyarakat Islam Patani kembali bangkit untuk menuntut hak-haknya. Banyak faktor yang mendukung gerakan perlawanan Patani, antara lain perlakuan internal pemerintah pusat di Bangkok yang dirasakan kurang aspiratif dan akmomodatif; pengaruh dari semangat perjuangan Komunis di Indo-China;gerilya komunis di pedalaman utara Malaysia seluruhnya seakan memotivasi umat Islam Patani untuk bangkit. Keinginan Muslim melayu untuk bebas dari kekuasaaan Thailand sudah berlangsung sangat lama. Bahkan permusuhan antara Muslim Patani di wilayah Selatan Thailand dengan masyarakat Buddha-Siam sudah berlangsung selama ratusan tahun, atau sejak terbentuknya masyarakat Islam Patani. Muslim di Thailand Selatan sebagian besar etnis Melayu dan berbahasa Melayu bukan Thailand. Dan dulunya mereka pernah menjadi bagian dari Kesultanan independen Patani, yang kini termini dari provinsi Patani, Yala, Narathiwat, dan bagian barat Songkhla, yang berkembang mulai tahun 1390 sampai 1902.

PEMBAHASAN: ESKALASI KONFLIK
Struktural
Bagi sebagian  orang awam, konflik di Thailand Selatan ini kerap dipandang sebagai konflik agama semata antara muslim Melayu di Thailand Selatan melawan orang Thai Buddha yang mendominasi pemerintahan pusat Thailand. Namun sebenarnya ada begitu banyak faktor yang menyebabkan konflik ini timbul dimana selain perbedaan agama, faktor-faktor seperti kesenjangan sosial dan tindakan kasar aparat keamanan juga turut berperan. Selebihnya, konflik di Thailand Selatan ini mengakibatkan ribuan orang tewas dan kerugian material yang tidak main-main. Dan tentunya, jumlah tersebut bisa bertambah kedepannya jika kita lihat sekarang masih berlangsungnya konflik ini. Pasca runtuhnya kerajaan Melayu Patani, kehidupan Muslim Melayu Patani mengalami keterpurukan dan ketidakadilan. Akibat dari perbedaan agama maupun sosial budaya menimbulkan konflik di Negara tersebut terutama di bagian Patani. Awal mula terjadinya konflik antara Umat Muslim di Patani dengan aparat pemerintah Thailand disebabkan karena kebijakan-kebijakan pemerintah Thailand yang merugikan pada masyarakat Muslim yang ada di wilayah Selatan Thailand.  Salah satunya Pada tahun 1921, UU wajib belajar pendidikan dasar mewajibkan semua anak untuk masuk sekolah dasar negeri selama empat tahun untuk belajar bahasa Thailand. Disekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha. Pada saat-saat tertentu, anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembahan Budha. Selain itu, orang-orang Islam tidak diperbolehkan mempunyai partai politik yang berasas Islam, bahkan segala organisasi harus berasaskan kebangsaan. Budaya masyarakat Muslim Thailand  sangat kental dengan budaya Melayu. Karena memang rumpun Melayu-lah yang paling menonjol dalam perjalanan panjang sejarah Muslim Thailand sejak abad ke-13. Hal yang membuat masyarakat Thailand Selatan semakin geram terhadap pemerintah ialah Muslim Melayu dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai budaya Buddha Thailand. Gambar Buddha ditempatkan di semua sekolah umum dan anak anak Muslim Melayu diminta untuk membungkuk di depan mereka untuk menunjukkan loyalitas mereka sebagai warga Negara. Muslim Melayu dilarang memakai pakaian tradisional di depan umum dan dipaksa untuk mengadopsi nama Thai sebagai prasyarat untuk bekerja dalam pemerintah.
Sebagai wujud ketidakpuasan masyarakat Melayu Patani atas perlakuan kerajaan Siam telah terjadi beberapa pemberontakan, pemberontakan yang kecil maupun yang besar. Hal ini diakibatkan pemaksaaan Akta Pelajaran 1921, yang memaksa anak-anak Melayu Patani memasuki Pendidikan Kebangsaan Siam yang menggunakan bahasa Siam. Pada masa pemerintahan Pibul Songgram, dilancarkan program Rathaniyom. Yaitu suatu program yang didasarkan ultra-Nasionalisme Siam. Program ini tujuannya adalah membentuk Negara Siam Sejati yaitu berdasarkan satu agama, bangsa, bahasa, dan kebudayaan Siam. Seluruh program ini dituangkan dalam tujuh dekrit. Pada masa ini jugalah ditukar istilah Siam menjadi Thailand. Bagi Masyarakat Melayu Patani, program Rathaniyom 1939 adalah malapetaka besar, karena pada saat itu tidak lagi dibenarkan menggunakan nama Melayu, berpakaian Melayu, berbicara dan menulis dalam bahasa Melayu, bahkan mempelajari agama Islam, pada saat itulah syariat Islam dan hukum adat tidak diakomodir dalam sistem hukum formal, yang mana hal yang berkaitan dengan perkawinan dan harta pusaka harus berdasarkan undang-undang sipil, bukan berdasarkan syari’at. Tindakan selanjutnya yang dilakukan pemerintah yaitu pemerintah hanya hanya mengakui dan memberikan kesempatan pada lulusan Sekolah Pemerintah atau lulusan Pondok yang telah dimordenisasi (mengalami proses Thailandisasi). Akibatnya, banyak pondok yang bertahan dengan gaya dan kurikulum serta pendekatan lama yang ditinggalkan santri dan akhirnya bubar.
            Dari sudut pandang pemerintah pusat di Bangkok, kebijakan ini cukup berhasil mengiring orang Patani menjadi orang Thai (menumbuhkan rasa Nasionalisme). Namun, bagi rakyat Patani sendiri kebijakan ini membuat kesenjangan yang semakin menjauhkan antara para alumni pendidikan modern dengan masyarakat Patani yang tetap berada pada jalur tradisionalnya. Para alumni pendidikan modern menjadi terjauhkan dan tersisihkan dari masyarakatnya sendiri. Sejak politik minoritas Melayu, ketidakadilan dan kesenjangan yang diterima masyarakat Patani, telah memberikan latar belakang dan memunculkan sejarah konflik kekerasan yang terjadi di wilayah Selatan. Yang mana sejak konflik ini berlangsung pemerintah Thailand mengandalkan kekuatan Militer untuk menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang ada di wilayah Selatan. Banyak warga Muslim yang disiksa, diculik dan dibunuh. Militer-pun bertindak dibawah undang-undang darurat dan undang-undang khusus lain, sehingga mereka lepas dari sanksi hukum dan korban yang berjatuhan 90 persen ialah warga sipil Patani.

Akselerasi
Pada faktor pemercepat konflik ini, penulis akan memaparkan bahwa salah satu faktor yang menjadikan konflik di Thailand dengan waktu yang singkat merambah adalah dikarenakan pada mulanya muslim Pattani merupakn minoritas di Thailand. Sejarah kelompok masyarakat muslim telah ada sejak awal berdirinya negara Thailand dan memiliki peran penting dalam masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya muangthai dikenal secara luas sebagai negara yang mengalami perkembangan yang sangat cepat dibidang ekonomi sosial-budaya. Sementara itu, komunitas muslim merupakan komunitas minoritas yang secara umum dianggap salah satu yang paling konservatif dan tradisional dari masyarakat Thai sehubungan dengan lingkungannya yang sedang mengalami perubahan. Untuk itu religio  kultural merupakan identitas yang paling penting dalam jaringan hubungan umat islam dan budha di Thailand. Karena perkembangan dan dinamisasi masyarakat muslim Thailand banyak diwarnai oleh masalah tersebut.
Islam sebagai agama minoritas banyak mendapat tekanan dari pemerintah dan masyarakat secara mayoritas beragama Buddha sebanyak 70 %. Jumlah penduduk muslim sebanyak 6.326.732 (12 % persen dari total penduduk Thailand ) jiwa, yang berdomisili di Pattani, Yala, Narathiwat, Satun, Songkhla sebesar 80 % di wilayah ini.
Faktor lain yang menyebabkan pemercepat konflik adalah karena di bunuhnya seorang tokoh ulama di Pattani yang bernama Haji Sulong, beliau adalah salah satu pelopor perjuangan muslim patani untuk mendaptkan kemerdekaannya melalui jalur separatisme.
Haji Sulong lahir 1895 Pada 3 April 1947. Golongan patani Raya yang dipimpin oleh haji Sulong mengajukan undang2 undang ototomi untuk Pattani kepada Pemerintah Thai. Namun pemerintah Thai tidak bersedia merundingkan perosaalan daerah otonom. Pemenuhan tuntutan golongan Melayu Muslim dikhawatirkan akan memunculkan tuntutan serupa di berbagai minoritas etnik di Thailand. Keengganan pihak pemerintah untuk berunding menimbulkan haji Sulong adan para pendukungnya melakukan tekanan yang lebih besar dengan cara mengancam dan memboikot pemilihan umum yang direncanakan akan dilakukan pada akhir Jamuari 1948. Haji sulong daan rekan-rekannya ditangkap pada 16 januari 1948 dengan tujuan sedang mempersiapkan dan berkonplot untuk merubah pemerintahan kerajaan yang tradisional, serta mengancam kedaulatan dan keamanan nasional. Haji sulong dipenjarakan selama 4 tahun, setelah keluar dari tahanan penjara dia mengajar di berbagai pengajian dan medrasad dipattani selama 2 tahun. Seltelah itu Ketua penyiasat polisi Thai mengundang haji SUlong bersama 3 kawan nya untuk datang di kantor di Senggro (Songkhlaa). Setelah pertemuan itu haji Sulong dan kawannya tidak kembali dan tidak diketahui keberadaannya. Diketahui Haji Sulong telah ditanggkap kembali tanpa Undang undang setelah mereka mendandatangani berkas kepulangan ke Patani kemudian di bunuh dan di buang ke pulau Tikus atau Samila Beach. Sejak pembuhuhan yang terjadi kepada haji Sulong, perjuangan diteruskan kepda generasi mudha patani, dan mulai muncullah semangan untuk pembebasan patani yang ditandai dengan muncul2nya organisasi pembebasan patani.

Trigger
Sejak kekalahan yang dialami oleh kerajaan Pattani yang ditandai dengan penggabungan Pattani kedalam wilayah Thailand, orang-orang muslim menyebar ke seluruh provinsi di Thailand termasuk Bangkok. Akibat menyebaran ini terjadilah percampuran antara orang-orang muslim dengan etnis Thai asli. Asimilasi kebudayaan atau percampuran budaya dan etnik inilah, kemudian mulai memunculkan permasalahan yang menjadikan pemicu konflik. Apalagi Islam yang memiliki posisi sebagai agama yang minoritas mendapatan bergagai macam tekanan diri pemerintah dan masyarakat setempat yang mayoritas adalah dengan agama Budha. Sedangkan orang melayu adalah etnik mayoritas dikalangan muslim, etnis yang lainnya adalah haw, jawa, sam-sam, bawean, pathan, punjab, tamil, bengali, islam dan lainnya. Sebenarnya masyarakat muslim melayu di Thailand kuat secara politik karena mereka berdekatan dengan Malaysia dan tetap memiliki budaya melayu, namun kembali lagi apabila dibandingan dengan masyarakat Thailand sendiri muslim tetaplah menyadi masyarakat kelas dua atau minoritas
Pemerintah membuat kebijakan yang peo Budha, dimana semua unsur agama buda dimasukan dalam sendi-sebdi kehidupan, seperti dalam kurikulum pendidikan, pekerjaan dll. Masyarakat muslim mendapat diskriminasi. Kebijakan Siamisasi ini menurut hemat penulis menyebankan munculnya gerakan pembebasan untuk mencapai kemerdekaan Pattani, yang kemudian memicu konflik semakin pelik. Organisasi-organisasi pembebasan tersebut  tersebut antara lain :
1.      Barisan Revolusi Nasional
Ustad Haji Abdul Karim Hassan, seorang guru di distrik Ruso Narathiwat adalah seorang pendiri gerakan Barisan Revolusi Nasional pada tahun 1960-an. Gagasannya adalah revolusi sistem pendidikan pemerintah karena ia merasa kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang memaksa pendidikan agama Budha dan bahasa Thai kepada komunitas Muslim sangat dirasa menciderai nilai nilai penghormatan terhadap agama lain yaitu Islam.
Gerakan BRN lebih kepada organisasi politik, dimana mereka masuk melalui sekolah sekolah agama daripada kegiatan grilya. Tatapi BRN juga memiliki kekuatan militer dengan kekuatan 150-300 orang dibawah pimpinan Jehku Baku. Pusat kekuatan mereka berada di distrik-distrik barat Songkhla. BRN mencoba menjembatani ideologi komunis dan sosialis yang mereka tunjukan dengan menjalin hubungan erat dengan partai komunis dari Malaysia dan Tahiland. Tetapi upaya penyatuan sosialisme, islamisme dan nasionalisme tersebut membuat organisasi ini sangat rentan dengan perpecahan fraksi. Saat ini pejuang BRN masih diperhitungkan oleh militer Thailand karena mereka masih memiliki kuatan militer yang sewaktu waktu dapat kembali membuat kekacauan di Thailand.

2.      Pattani United Liberation Organization (PULO)
PULO muncul sebagai organisasi islam terbesar di Thailand. Semenjak pertama kali berdiri pada tahun 1968. PULO bertujuan untuk mendirikan negara islam yang independen, PULO bersifat etnis nasionalis daripada islam. PULO didirikan di India oelh Tengku Bira Kotanila. Ia menyelesaikan studi ilmu politik di India. Bira merasa tidak puas dengan gerakan perlawanan Melayu yang tidak efektif. Di  PULO ia mengajak para aktivis muda Thailand untuk ikut ambil bagian dalam pembebasan Pattani. Rata-rata dari mereka adalah lulusan luar negeri. PULO menjalankan dua pendekatan yaitu militer dan poltik, mereka berkomitmen untuk meningkatkan tingkat pendidikan dan kesadaran politik khususnya bagi komunitas muslim Thailand selatan.
Dalam hubungan internasional PULO memiliki hubungan dengan negara negara timur tengah seperti Suriah, Lebanon dll. Mereka memiliki kamp pelatihan bagi anggota dan melatih skill kemiliteran di luar negeri. Komandan militer Sama ae Thanam menerima pelatihan militer di timur tengah. Diperkirakan kekuatan PULO sekitar 200-600 pejuang tetapi mereka mengklaim memiliki 20.000 pejuang.

PROSES PERDAMAIAN
  1. Dialog Damai Muslim Pattani dan Pemerintah Thailand
Kesepakatan dialog dan pembicaraan awal antara Muslim Pattani dan Pemerintah Thailand telah disepakati dan ditandatangani di Kualalumpur Malaysia pada 28 Februari 2013 lalu yang melibatkan Pemerintah Thailand dan Muslim Pattani. Kesepakatan untuk pembicaraan awal tersebut bagi perdamaian melalui meja perundingan disepakati kedua belah pihak yang disaksikan oleh PM Malaysia Najib Tun Razak dan PM Thailand Yingluck Shinawatra. Dokumen kesepakatan awal pembicaraan damai tersebut akan menjadi dasar bagi apa yang disebut sebagai proses dialog untuk perdamaian di wilayah provinsi-provinsi Thailand Selatan.
Dalam penandatanganan dialog antara Muslim Pattani dan Pemerintah Thailand, pihak Muslim Pattani diwakili Hassan Taib, Wakil Senior Barisan Revolusi Nasional (BRN), sedangkan dari pihak Thailand diwakili Sekretaris Jendral Dewan Keamanan Nasional Thailand, Letnan Jenderal Paradorn Pattanathabutr. Hassan Taib oleh International Crisis Group merupakan tokoh berpengaruh dalam Muslim Pattani yang berdomisili di Malaysia. Kesepakatan awal untuk membicarakan perdamaian di Thailand Selatan ini merupakan suatu langkah yang bersejarah khususnya bagi Muslim Pattani.
Selama ini pemerintah Thailand di Bangkok tidak mengakui adanya pemberontakan-pemberontakan pejuang Muslim Pattani yang bermarkas di wilayah Thailand Selatan. Dengan adanya pembicaraan awal dan kesepakatan untuk melakukan dialog baik dari Muslim Pattani dan Pemerintah Thailand membuktikan, Muslim Pattani diakui sebagai oposisi bersenjata dan pengakuan resmi dari Pemerintah Thailand di Bangkok. Thailand memiliki populasi muslim sekitar 9,5 juta dan umumnya tinggal di perdesaan. Muslim Pattani umumnya berdomisili di provinsi yaitu Pattani, Yala dan Narathiwat yang berbatasan dengan Kelantan, Perlis dan Kedah di Utara Malaysia. Ketiga provinsi tersebut merupakan provinsi yang mayoritasnya beragama Islam dan beretnis Melayu sama halnya dengan Malaysia. Sebelumnya ketiga Provinsi tersebut merupakan wilayah Kesultanan Islam yang kemudiannya diambil alih oleh Kerajaan Siam diawal abad ke-20.
Ada banyak faksi-faksi di Thailand Selatan sebagai usaha perjuangan dari Otonomi Khusus hingga menginginkan Kemerdekaan dari Pemerintah Thailand. Selain BRN yang menandatangai persetujuan pembicaraan dengan pihak Pemerintah Thailand juga ada Kubu Pembebasan Bersatu Pattani (PULO), Barisan Pembebasan Islam Pattani dan Gerakan Mujahideen Islam Pattani. Barisan Revolusi Nasional (BRN) merupakan induk dari Kubu Revolusioner Bangsa Melayu Pattani yang didirikan pada tahun 1960-an yang awal perjuangannya adalah otonomi khusus di wilayah Thailand Selatan. Akibat diskriminasi dan tidak adanya pembangunan yang merata di wilayah Thailand Selatan menjadi dasar perjuangan Muslim Pattani untuk melakukan tekanan yang ujung-ujung mengangkat senjata sebagai akibat ketidakpedulian pemerintah Thailand di Bangkok terhadap wilayah di Thailand Selatan.
Dalam perjuangannya, Muslim Pattani menerapkan strategi perang gerilya. Kondisi alam dan hutan yang luas disepanjang perbatasan Thailand Selatan dan Utara Malaysia memungkinkan untuk perang secara gerilya melawan militer Thailand. Perjuangan Muslim Pattani masih sendiri-sendiri disebabkan belum bersatunya faksi-faksi dalam tubuh Muslim Pattani. Taktik gerilya dan strategi hit and run merupakan perjuangan Muslim Pattani berhadapan dengan militer Thailand. Persenjataan yang dimiliki oleh Muslim Pattani umumnya merupakan rampasan dari senjata militer Thailand. Perjuangan yang sendiri-sendiri salah satu kelemahan yang ada pada Muslim Pattani.

  1. Malaysia sebagai Fasilitator
Malaysia yang menjadi tuan rumah dalam kesepakatan awal pembicaraan dialog nantinya berharap kesepakatan damai tersebut dapat terlaksana dengan baik. Kesepakatan pembicaraan awal perdamaian antara pemerintah Thailand dan Muslim Pattani diharapkan akan menghasilkan kesepakatan menuju perdamaian yang diharapkan kedua belah pihak. Penandatanganan kesepakatan awal tersebut adalah sebagai tahap awal dari sebuah proses yang panjang dan memerlukan waktu yang cukup panjang pula dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul nantinya.
Pembicaraan awal dalam kerangka perdamaian di antara Muslim Pattani dan Pemerintah Thailand merupakan pertemuan pertama kalinya secara formal yang melibatkan pihak ketiga (Malaysia) bagi membicarakan proses perdamaian di wilayah Thailand Selatan yang terus bergojak semenjak tahun 1960-an. Pada tahun 2004 intensitas konflik di wilayah Thailand Selatan semakin meningkat yang mengakibatkan pengerahan militer Thailand di wilayah Thailand Selatan semakin besar. Sebagai fasilitator, Malaysia telah mengambil peran yang sangat strategis dalam upaya membawa kedua belah pihak ke meja perundingan. Pada proses perundingan pada putaran pertama ini akan dibicarakan bagaimana soal kerja sama bisa dilakukan kedua belah pihak yang bersengketa. Sebelumnya pada Oktober 2012 bertempat di Manila, Philipina telah dicapai kesepakatan damai dan memperoleh otonomi khusus bagi Pejuang Muslim Moro (MILF) di Philipina Selatan yang difasilitasi Malaysia.
Atas permintaan resmi Thailand kepada Malaysia untuk dapat berperan sebagai fasilitator dan upaya mempertemukan pihak-pihak yang bertikai. Thailand meminta kepada Malaysia untuk memfasilitasi pembicaraan antara kelompok-kelompok Muslim Pattani yang beroperasi di Thailand maupun di Malaysia. Untuk tahap awal Malaysia berhasil mempertemukan kelompok Muslim Pattani untuk berbicara secara langsung dengan pemerintah Thailand yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 28 Februari 2013 lalu. Malaysia yang berbatasan langsung dengan Thailand di utara wilayahnya (Kelantan, Perlis dan Kedah) tentu berupaya untuk turut serta dalam mempertemukan pihak-pihak yang bertikai baik Muslim Pattani dan Pemerintah Thailand. Sebagai negara tetangga, tentu Malaysia akan menjaga hubungan baik dan tidak mengintervensi atas kedaulatan Thailand, yang mana pejuang-pejuang Muslim Pattani sebagian besarnya mendiami wilayah Thailand Selatan dan Malaysia Utara seperti halnya di Kelantan yang wilayahnya sangat dekat dengan Provinsi Pattani.
Sebagai sesama negara anggota ASEAN, Malaysia dan Thailand menginginkan adanya stabilitas politik dan keamanan di wilayah perbatasan di kedua negara tersebut. Wilayah Thailand Selatan dan Utara Malaysia merupakan wilayah basis dari Muslim Pattani yang secara tidak langsung akan juga mengganggu hubungan bilateral kedua negara tersebut jika tidak diselesaikan dengan baik. Seyogyanya kesepakatan perundingan antara Muslim Pattani dan Pemerintah Thailand yang akan membicarakan proses perdamaian akan menjadi sebuah kesepakatan bersejarah tidak saja bagi Muslim Pattani dan Pemerintah Thailand juga akan memiliki dampak bagi stabilitas ASEAN umumnya.

  1. Pemerintah Thailand Mempelajari Solusi Damai GAM
Bangsa Pattani, dari Thailand Selatan yang mayoritas beragama muslim, datang ke Aceh untuk mempelajari kesuksesan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berdamai dengan Pemerintah Indonesia dan masih bertahan sampai sekarang. Kedatangan tamu dari pemerintah Thailand tersebut diterima Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah, Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al-Haytar, Ketua DPRA, Hasbi Abdullah, Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda, dan sejumlah Kepala SKPA. Misi kunjungan pemerintah Thailand adalah untuk mendalami isi perjanjian damai GAM dengan Pemerintah RI dan UUPA yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan Pemerintah Aceh, pascadamai. Pemerintah Thailand tertarik datang ke Aceh didasari keingin untuk melihat proses perdamaian GAM di Aceh dengan Pemerintah Indonesia yang berjalan cukup baik.

  1. Peran OKI dan ASEAN
Pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Makkah, Arab Saudi, akan membahas minority Muslim yang tinggal di negara-negara nonanggota. Nasib kelompok minority Muslim terkadang sangat memprihatinkan. Sejumlah kasus terjadi pada komunitas Muslim, seperti di etnis Melayu muslim di Thailand selatan dan Filipina selatan. Terakhir, kekerasan dan diskriminasi yang menimpa Muslim Ro hingya di Myanmar. Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal menyatakan isu persatuan negara Muslim diangkat. Dunia Islam dinilainya kini di ambang perpecahan dan mesti ada langkah yang segera ditempuh untuk membangun persatuan, dan menyelesaikan masalah yang dihadapi setiap negara Muslim. Ia mengatakan, Kerajaan Arab Saudi sudah mengirimkan undangan kepada kepala negaranegara anggota OKI untuk menghadiri pertemuan.
            Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2011 di Jakarta salah satunya membahas kasus yang terjadi di Thailand Selatan merupakan satu dari sekian banyak kasus konflik internal yang menimbulkan jatuhnya korban sipil. ASEAN telah memiliki fondasi yang baik untuk menjalani proses demokrasi, karena sudah terkandung dalam Piagam ASEAN, dan pencapaian itu tergantung pada pemerintah dan masyarakat sipil. Kasus yang terjadi di Thailand Selatan merupakan satu dari sekian banyak kasus konflik internal yang menimbulkan jatuhnya korban sipil. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pembentukan Comunity Keamanan ASEAN belum dapat diharapkan untuk mengakomodasi berbagai konflik yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Negara anggota ASEAN menekankan dukungan penuh terciptanya resolusi damai atas tantangan yang terjadi di Thailand. Resolusi damai bisa tercapai melalui dialog dan penghormatan penuh pada prinsip-prinsip demokrasi dan aturan hukum.



  1. Peran Komunitas/Media Sosial
Peran media alternatif seperti Deep South Watch (DSW) sangat penting untuk memberikan informasi yang detil dan akurat mengenai apa yang terjadi di Pattani. Presentasi mengenai  Deep South Watch (DSW) menunjukkan bagaimana media alternatif ini telah membangun jaringan dari kalangan  media, organisasi masyarakat sipil, maupun akademisi.
Deep South Watch (DSW) berdiri pada bulan september 2006. DSW, yang awalnya disebut Intellectual Deep South Watch (IDSW), merupakan jaringan koordinasi dari berbagai lembaga dan akademisi. Tujuannya untuk menganalisis kekerasan di Thailand Selatan  melalui data dan analisis  yang rasional dan jernih. DSW juga bertujuan menempatkan situasi konflik di Thailand selatan ke ranah publik yang lebih luas agar masyarakat ikut mengamati dan memahami situasi yang terus mengalami perubahan. Melalui jaringan kerjasama dengan jaringannya, DSW membangun basis data untuk mengamati situasi Thailand selatan yang sangat dinamis. Dalam prosesnya, basis data ini akan dikembangkan menjadi pusat sumber pengetahuan dan penelitian mengenai kebijakan di Thailand Selatan yang bisa digunakan oleh jurnalis dan akademisi. Di tingkat elit pemerintah, DSW menerbitkan Deep South Bookzines yang disebarkan di lingkaran militer dan pemerintah untuk mendorong kebijakan yang lebih reformis kepada Thailand Selatan sebagai lawan dari pendekatan militeristik.

ANALISA KONFLIK
            Berdasarkan pembahasan diatas terkait eskalasi konflik Patani dan proses perdamaian, Penulis menilai elemen-elemen yang berperan dalam proses perdamaian terbilang sudah lengkap karena hampir semua aspek terlibat dan ikut serta menyelesaikan konflik Patani lewat jalan damai, tetapi rupanya keterlibatan mereka semua tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, karena konflik Patani sendiri masih berlangsung hingga sekarang. Dengan kata lain, konflik ini belum menemui titik terang, dan terkesan mengalami stagnansi dalam proses damai yang dijalankan baik dari kubu pemerintah dan umat muslim melayu Patani sendiri. Adapun tawaran resolusi konflik dari Penulis yang kiranya bisa menjadi solusi alternatif atau sekedar jadi bahan diskusi adalah sebagai berikut:
Menurut analisa Penulis, Penulis mencoba mengadopsi resolusi konflik zaman Rasul yakni teknologi rekonsiliasi Piagam Madinah. Dengan pertimbangan bahwa konflik Patani hampir mirip dengan konflik zaman Rasul antara Islam, Yahudi dan Nasrani. Yang sama-sama setting konfliknya adalah permasalahan primordialisme atau identitas keagamaan. Sedikit yang membedakan jika melihat yang terjadi terhadap konflik Patani, dimana umat Islam lah yang merasa takut tertindas dan terpinggirkan oleh pemerintah Siam (Thailand) dari kekuatan Buddhisme, sedangkan dalam konflik zaman rasul tersebut, non-Islam lah yang takut ditindas, dalam hal ini umat nasrani dan yahudi. Yang ketika itu merasa takut diperlakukan tidak adil karena kemenangan terbesar jatuh pada umat Muslim. Baik konflik Patani dan konflik ketika zaman Rasul dulu memiliki kesamaan tuntutan dalam segi jaminan keadilan bagi mereka yang merasa tertindas. Apabila rekonsiliasi ala Rasul seperti Piagam Madinah ini dilakukan ataupun diterapkan dalam konflik Patani maka Penulis sangat menekankan dalam proses rekonsiliasi harus mengedepankan two-ways communication dan non-blaming. Ini dimaksudkan ketika terjadi proses rekonsiliasi ataupun dengar pendapat dari kedua kubu maka keduanya mampu saling mendengarkan satu sama lain, dan tidak lagi memperdebatkan kubu mana yang salah dan benar. Karena Penulis meyakini apabila kedua kubu sama-sama memiliki sikap untuk meredam emosi masing-masing maka mengerucutnya masalah sangat mudah didapat. Karena kebutuhan konflik Patani ini adalah sebuah pengakuan bahwa Islam menjadi agama yang diakui, dan tidak dibedakan dalam segala aktivitas kehidupan, maka teknologi resolusi konflik Rasul sangat dimungkinkan diadopsi, yakni Teknologi Rekonsiliasi melalui Piagam Madinah. Tetapi Penulis sekali lagi memberikan asumsi saja, terlepas bagaiman model rekonsiliasinya, karena bisa saja disebut Piagam Patani ataupun yang lainnya. Untuk menerapkan sistem seperti ini maka sangat dibutuhkan pihak penengah yang posisinya netral. Karena pada konflik zaman rasul dulu, sosok Rasulullah lah yang menjadi penengah. Penulis sangat berharap bahwa negara lain ataupun organisasi tertentu memiliki peluang besar menjadi penengah untuk memobilisasi sebuah rekonsiliasi antara pemerintah Thailand dan Patani.
Menurut analisa Penulis, alasan yang melatarbelakangi mengapa hingga sekarang Pemerintah Thailand sulit menyelesaikan konflik Patani adalah ketakutan pemerintah Thailand karena beberapa hal. Penulis berasumasi bahwa ketakutan pemerintah Thailand dalam konflik ini diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Terulangnya dominasi Kerajaan Patani dahulu.
b.      Timbulnya kekhawatiran akan tergoyahkan eksistensinya Buddhisme.
c.       Timbulnya kekhawatiran pemerintah Thailand akan pemasukan anggaran negara.
d.      Ketakutan militer Thailand dengan konsep “Jihad” yang dianut tentara Patani.
e.       Ketakutan adanya kepentingan terselubung kelompok gerilyawan Patani untuk menguasai otonomi wilayah Thailand Selatan.
Jika rekonsiliasi dengan mengadopsi resolusi konflik Rasul tersebut berhasil dilakukan ataupun diterapkan, Penulis berasumsi bahwa hanya ada keuntungan saja yang diperoleh. Yang pastinya baik pemerintah Thailand dan umat Islam Melayu Patani terakomodir hak-hak dan kewajiban dalam bentuk UU yang disahkan. Yang terpenting pula tidak perlu ada lagi korban sipil yang tewas dan terancam kehidupannya karena konflik primordial ini. Maka dengan adanya rekonsiliasi antara pemerintah Thailand dan umat Islam Patani menghasilkan win-win solution.
            Kondisi umat muslim melayu Patani saat ini setelah dan masih menjalani proses perdamaian bahwa umat muslim melayu Patani masih bagian integral dari keseluruhan pemerintahan Thaialnd. Walaupun dari awal konflik muncul hingga sekarang, kehidupan umat muslim melayu Patani mengalami perbaikan dan peningkatan diberbagai bidang, tetapi tetap saja mereka hidup dalam tekanan dan perlakuan diskriminatif.






KESIMPULAN
Ada beberapa hal yang bisa kita lihat di dalam konflik partai Patani ini. Faktor dari dalam  kelompok Islam di Patani yang cenderung Fundamentalis. Menurut kami, ini adalah faktor lanjutan sebagai respon setelah sebelumnya pemerintah Thailand mengeluarkan kebijakan yang tidak adil bagi kelompok Islam Patani. Diantara kebijakannya adalah di bidang ekonom yang tidak merata, Kemudian kebijakan Politik dengan program Thailandnisasi terhadap Kelompok Islam Patani. Hal tersebut adalah ancaman bagi identitas masyarakat Islam Patani yang sejak lama menganut Islam.
Proses perdamaian di Thailand saat ini sangat bergantung pada pihak pemerintah Thailand. Pemerintah harus bisa bertindak adil dan mengakomodir tuntutan dari kelompok Islam Patani. Dengan catatan rekonsiliasi yang dilakukan nantinya tidak memihak manapun, Pemerintah harus memandang bahwa kelompok Islam Patani adalah sama dengan kelompok- kelompok yang lain. Sehingga visi yang mereka miliki adalah integrasi Thailand yang lebih damai.
Konflik Patani adalah masalah politik internal, walaupun begitu dalam penyelesaiannya sangat diperlukan bantuan dari luar sebagai penengah. Walaupun ASEAN menerapkan prinsip Non-intervensi atas sesama negara ASEAN, namun Indonesia bisa masuk dengan cara diplomasi kebudayaan seperti yang dilakukan dalam kasus Rohingya.









Daftar Pustaka

Dr. H.Saifullah, SA, MA, “Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
PDF Skripsi Perjuangan Politik Haji Sulong di Pattani (194701954) oleh Wira Tahe, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010 diakses 19 juni 2014
http://kombinasi.net/konflik-thailand-selatan-dan-peran-media-komunitas/ (diakses 24 juni 2014)








[1] Dalam Brown 1988: 55-67.
[2] Dikutip dari Ibid. hlm 20 dan 21, Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara.

ANALISIS KEBIJAKAN “PETRUS” ERA SUHARTO MELALUI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Tulisan ini merupakan Tugas Paper pada Mata Kuliah Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter (Program Studi Master of Arts UGM)

Latar Belakang Masalah
Dalam ‘genggamannya’, Indonesia saat itu adalah negara dengan sistem pemerintahan yang tidak demokratis. Selama hampir 32 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia, Soeharto dikenal sebagai sosok pemimpin yang otoriter. Sepak terjangnya dalam mengatur Indonesia dengan partai dengan kursi mayoritas (Golkar) melanggengkan kekuasaannya. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soeharto akan senantiasa dipatuhi. Namun, kebijakan-kebijakan tersebut pasca reformasi dipersoalkan dan menjadi buah bibir banyak kalangan. Banyak kalangan menaruh bangga namun tak sedikit yang menaruh sentimen terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto dulu.
Salah satu kebijakan yang saat ini menjadi perhatian beberapa kalangan khususnya dari pers dan aktivis HAM ialah Petrus, atau dikenal Operasi Celurit. Petrus merupakan operasi rahasia yang dilakukan ketika era Suharto pada tahun 1980-an. Petrus sebagai cara untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu.[1] Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah ‘petrus’ (penembak misterius).
Berdasarkan pemberitaan media massa yang terbit pada saat itu, sejak awal Januari 1983 Kodam Jaya telah memulai operasi pemberantasan kejahatan dengan nama “Operasi Celurit”. Petrus pertama kali dijalankan di Yogyakarta. Dalam operasi itu, Kodam Jaya berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Sudomo. Menurut keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27 Juli 1983, operasi itu tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk menginventarisasi nama-nama pelakunya. Sebuah buku biografi Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, didalamnya Soeharto membenarkan adanya ‘Petrus’. Beliau menjelaskan bahwa penembakan misterius itu sengaja dilakukan sebagai shock terapy. Dalam bukunya beliau menuturkan kalau Petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.[2]
Kebijakan ini bertujuan jelas untuk menekan laju kriminalitas, kejahatan, mafia yang merajalela, Gabungan Anak Liar (GALI), mereka sangat menganggu dan meresahkan masyarakat sehingga harus diberantas. Akan tetapi di sisi lain, apakah kebijakan ini dapat dibenarkan jika melihat korban yang terbunuh tidaklah sedikit, dan perlu dicatat bahwa mereka tanpa melewati proses hukum yang adil, apakah kebijakan ini bisa dikategorikan kebijakan yang melanggar hak-hak asasi manusia. Maka untuk menjawabnya Penulis akan menganalisis kasus ‘Petrus’ ini melalui sudut pandang hukum HAM.
Rumusan Masalah
Apakah kebijakan “Petrus” Soeharto bisa dibenarkan dengan alasan untuk menegakkan stabilitas keamanan dalam negeri?
Bagaimana hukum HAM memandang pelaksanaan kebijakan “Petrus” ini?
Kerangka Berpikir
Non-derogable rights
Hak Non-derogable rights dalam ICCPR adalah hak-hak yang bersifat absolut, yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara. Hak-hak yang termasuk dalam jenis ini adalah[3]:
1.      Hak atas hidup (rights to life)
2.      Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture)
3.      Hak bebas dari perbudakkan (rights to be free from slavery)
4.      Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian utang
5.      Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut
6.      Hak sebagai subjek hukum
7.      Hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama
            Dalam konstitusi negara Republik Indonesia, hak-hak yang termasuk dalam non-derogable rights diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang meliputi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Hipotesis
            Kebijakan “Petrus” adalah kebijakan yang melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Karena pembunuhan adalah bentuk pelanggaran HAM yakni hak untuk hidup (rights to life). Kebijakan ini mencerminkan negara pada saat itu membeda-bedakan hak warga negaranya sehingga nilai-nilai kemanusiaan dipinggirkan. Padahal negara adalah aktor penting dalam menghormati, menjaga, memajukan, dan melindungi hak-hak warga negaranya tanpa terkecuali.
Pembahasan
a.      Perjalanan “Petrus”
Tingkat kriminalitas sangat tinggi di era tahun 1980-an. Saat itu masyarakat gelisah jika bepergian keluar rumah karena para preman itu melakukan aksi kejahatan, memeras, hingga membunuh. Soeharto kemudian menginstruksikan dilakukannya sebuah operasi keamanan untuk membasmi para preman. Masyarakat yang sebelumnya takut keluar rumah, kembali menjalankan aktivitasnya tanpa takut diganggu para preman.[4] Presiden Soeharto mengakui tindakan tegas dengan jalan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan harus dilakukan sebagai sebuah treatment therapy. Mantan Pangkostrad itu bahkan menyatakan, tindakan tegas dengan cara ditembak suka tidak suka harus dilakukan kepada pelaku kejahatan yang melawan. Dalam buku otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya[5], Soeharto mengatakan:
“Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan.Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan tersebut

Petrus atau Operasi Clurit merupakan operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya pun tidak pernah ketahuan, sehingga dikenallah dengan nama Petrus (Penembak Misterius). Petrus berawal dari operasi pe­nang­gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng­har­gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber­ha­silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadap­an Rapim ABRI, Soehar­to meminta polisi dan ABRI mengambil lang­kah pemberantasan yang efektif me­ne­kan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pang­­­opkamtib Laksamana Soedomo da­lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja­ya, Kapolri, Kapolda, Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja­ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma­sing-masing kota dan provinsi lainnya. Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an­­taranya 15 orang tewas ditembak. Ta­hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an­taranya tewas ditembak. Para korban Pe­trus sendiri saat ditemukan masyarakat da­lam kondisi tangan dan lehernya te­ri­kat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, didepan rumah, dibuang ke sungai, la­ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa­ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke­amanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali. Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet  yang punya rencana mengembangkannya.[6]

b.      Pernyataan Komnas HAM

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan bukti yang cukup adanya dugaan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa penembakan misterius (Petrus). Kesimpulan itu didapat oleh Komnas HAM setelah melakukan penyelidikan  projustisia atas kasus penembakan misterius, atau dikenal sebagai  petrus. Komisioner Komnas HAM, Yoseph  Adi Prasetyo, mengatakan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM ini  melihat pada konteks politik yang terjadi pada masa itu, ketika terjadi  meningginya angka kriminalitas yang disertai kekerasan dan adanya  sekelompok preman yang dianggap tidak loyal pada penguasa. Jenis kejahatan yang tercakup dalam kasus petrus ini adalah pembunuhan, penyiksaan, perampasan kemerdekaan atau kebebasa fisik lain secara  sewenang-wenang dan penghilangan orang secara paksa. Sasaran korban dari penembakan misterius ini telah dipilih bahkan sudah ada daftar yang dibuat sebagai target operasi. Mereka dinyatakan sebagai penjahat, preman dan lebih sering  mantan residivis dengan ciri-ciri utama korban mempunyai tato. Namun tidak jarang korban justru tidak pernah melawan hukum dan menjadi  salah sasaran karena kebetulan mempunyai nama yang sama. Komnas HAM juga menjelaskan bahwa sebaran korban terjadi tidak hanya di satu wilayah namun terjadi juga di seluruh wilayah Jawa dan  Sumatra.[7]
Menurut penelitian David Bourchier, pelaku pembunuhan bertindak dalam konteks melaksanakan perintah jabatan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Republik Indonesia, yang juga berada di bawah komando Presiden Republik Indonesia. Selain pelaku yang memiliki kewenangan, ditemukan pula bukti adanya pelaku individu yang bertindak secara aktif dan disebut sebagai “operator”. Bukti tersebut diperkuat dengan bukti-bukti yang ada di lapangan, misalnya pada tali tambang dan kayu yang digunakan untuk mencekik korban. Menurut Yosep, alat untuk eksekusi tampak sudah dipersiapkan sebelumnya. Kayu pegangan dipotong dengan halus, bahkan diserut. Sedangkan jenis ikatan clove-hitch pada talinya menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang terlatih dan mengerti tali-temali. Setelah dibombardir protes, teknik pembunuhan pun berubah dari penembakan menjadi pencekikan dan berbagai cara penghilangan orang.Peristiwa Petrus juga ditandai dengan berbagai pola yang ditemukan pada tubuh mayat. Misalnya Mister X, julukan untuk orang yang ditemukan tanpa identitas, dalam keadaan tidak bernyawa dengan kedua tangan terikat di belakang. Mayat ditemukan dengan tiga luka tembakan di kepala atau mati karena tercekik.[8] Komnas HAM secara tegas menyatakan bahwa “Petrus” merupakan operasi keamanan yang melanggar HAM dan harus ditindaklanjuti secara hukum guna menangkap pelakunya. Tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan petrus adalah pelanggaran HAM berat.[9]
c.       Apakah “Petrus” bisa dibenarkan?
Penulis berasumsi dalam kasus Petrus ini, untuk pihak yang harus bertanggung jawab adalah pemerintahan saat itu, bertanggung jawab menjelaskan secara hukum dan sesuai konstitusi tentang yang sebenarnya menjadi tujuan “Petrus”. Karena memang saat itu, masyarakat tidak masalah dengan operasi ini, masyarakat justru diuntungkan karena kriminalitas bisa diatasi. Tetapi permasalahan yang timbul kemudian, apakah “Petrus” adalah jalan satu-satunya? Mengingat memang terjadi banyak argumen yang berbeda melihat kebijakan kontroversial ini.
Dipihak Komnas HAM bahwa rangkaian peristiwa penembakan misterius (petrus) yang menewaskan ribuan jiwa selama kurun 1982-1985 oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat dan kejahatan luar biasa. Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, para pelaku Petrus adalah terdiri dari aparat militer dan sipil. Aparat militer seperti Koramil, Kodim, Kodam/Laksusda dan Garnizun. Mereka adalah pelaku yang melaksanakan perintah jabatan di bawah koordinasi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia (Pangkopkamtib).[10]
Akan tetapi pemerintah saat itu berdalih operasi ini untuk menekan kriminalitas, menjaga keamanan masyarakat dan tidak melanggara HAM. Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia (Pangkopkamtib) lewat bapak Sudomo mengatakan bahwa Petrus adalah tindakan represif untuk preventif. Beliau mengatakan: Jadi kita melakukan tindakan dengan represif, tapi dia tidak diproses ke pengadilan, tapi tindakan represif ini tidak berarti bahwa kita menyalahi hukum, jadi dasarnya itu masih tetap konstitusi, demokrasi, hukum.[11]
            Melihat pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa pemerintah beralasan tindakan yang diputuskan untuk memberi jera itu merupakan tindakan represif yang tidak menyalahi konstitusi. Secara sosiologis dapat dipahami bahwa memang penanggulangan segala bentuk tindakan kriminal dapat dilakukan dengan cara preventif ataupun represif. Cara preventif adalah cara penanggulangan dengan pola mencegah, seperti imbauan atau penyuluhan. Cara represif adalah cara penanggulangan dengan pola keras, seperti penangkapan, pemenjaraan sampai dengan penembakan dan pembunuhan.[12]
            Disinyalir angka kriminalitas menurun drastis ketika “Petrus” dilaksanakan, bahkan masyarakat tidak menolak operasi keamanan ini.  Jika dilihat dari kacamata pemerintah dan tujuannya untuk mengamankan situasi dalam keseharian masyarakat yang tidak aman, “Petrus” adalah aksi cepat sebagai respon tersebut. Akan tetapi, tindakan represif tersebut seharusnya bukan main hakim sendiri, karena penjahat atau preman-preman tersebut harus menjalani proses hukum yang adil, bukan ditembak di tempat, mayat di pinggir jalan dan lain-lain. Proses hukum yang adil inilah yang menandakan negara berlaku adil dan “Petrus” tidak memenuhi poin ini.
            Memang benar kejahatan harus diberantas, akan tetapi upaya penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut[13]:
(1)   Sistem dan operasi Kepolisian yang baik.
(2)   Peradilan yang efektif.
(3)   Hukum dan perundang-undangan yang berwibawa.
(4)   Koordinasi antar penegak hukum dan aparatur pemerintah yang serasi.
(5)   Partisipasi masyarakat dalam penangulangan kejahatan.
(6)   Pengawasan dan kesiagaan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan.
(7)   Pembinaan organisasi kemasyarakatan.
            Persyaratan diatas jika melihat aplikasinya dalam “Petrus” sepertinya mengalami ketidaklurusan, dengan kata lain tindakan represif oleh aparat keamanan memberantas kejahatan berlangsung tidak sesuai konstitusi.  Jangan sampai tindakan represif ini menjadi bentuk ketidakpastian dan ketidakadilan penegakkan hukum era pemerintahan Soeharto.
Tetapi di era reformasi saat ini ternyata ada pemahaman yang berbeda dari pemerintahan di era SBY walaupun Komnas HAM tetap pada posisinya tegas mengatakan “Petrus” merupakan pelanggaran HAM berat. Dalam kasus penembakan misterius (Petrus) 1982-1985 misalnya, pada saat itu Sudomo yang menjabat sebagai Pangkopkamtib menggelar operasi untuk menertibkan preman bertatto dan pengemis di beberapa wilayah di Indonesia dengan tujuan untuk memerangi premanisme. Sehingga pemerintah justru terkesan melupakan tindakan-tindakan yang dilakukan para pelaku di masa lalu dengan memberikan apresiasi terhadap jasa-jasanya di masa lalu tanpa melihat akibat yang muncul dan dirasakan oleh para korban. Koordinator KontraS Haris Azhar mengatakan "Bahkan secara khusus, Presiden SBY dalam pernyataannya di media menyatakan bahwa Sudomo memiliki pengabdian yang tinggi bagi Negara semasa hidupnya.[14]
            Sehingga tidak mengherankan kasus pelanggaran HAM “Petrus” ini termasuk kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh proses hukum. Seperti pernyataan Adnan Buyung Nasution SH, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) bahwa “Petrus” terkesan dilindungi oleh proses penyelidikan tindak pidana. Tidak ada hasil yang jelas dan tindakan nyata, mengusut tuntas kasus “Petrus”, hingga proses pengadilan. Tindakan kriminal “Petrus” termasuk bentuk pelanggaran hukum, tanpa ada proses pengadilan.
d.      Non-derogable Rights melihat “Petrus”
            “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
  1. Pembunuhan adalah melanggar hak untuk hidup[15]
Korban jiwa dalam peristiwa Penembakan Misterius periode 1982 sampai dengan 1985 tidak dapat dinyatakan secara pasti, karena tidak ada penghitungan resmi dan sah. Ada beragam penyebutan jumlah korban. Sementara itu fakta pembunuhan yang terjadi dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan 1985 di Jawa Tengah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Diambil oleh atau diduga oleh tentara atau polisi (terkadang dengan menggunakan teman untuk menjemput korban)
b. Diambil atau dieksekusi oleh orang yang tidak dikenal
c. Diambil dari tempat umum
 d. Tidak diketahui proses pembunuhannya
2. Perampasan kemerdekaan melanggar hak bebas dari perbudakkan (rights to be free from slavery)
Dari hasil penyelidikan Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan 1985 ini ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan  kemerdekaan secara sewenang-wenang. Bentuk lain dari perampasan ini adalah penangkapan tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dalam peristiwa penembakan misterius periode 1982 sampai dengan 1985 dilaksanakan dengan beberapa cara sebagai berikut:
a. Korban diambil dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak jelas identitasnya (biasanya korban dibawa dengan mobil)
b. Korban diambil dari rumahnya oleh polisi tanpa alasan yang jelas
c. Korban diambil oleh tentara
d. Korban diambil dari tempat umum
e. Korban di ambil dari tempat
Dalam laporan Komnas HAM menjelaskan bahwa 9 orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak memperkenalkan diri sehingga tidak diketahui identitasnya, bahkan sebagian menutupi identitasnya dengan menggunakan penutup kepala hitam ataupun cadar. Sebagian korban dijemput dari kediamannya pada tengah malam ataupun dini hari menjelang pagi. Setelah dijemput dari rumahnya, korban kemudian dibawa dengan menggunakan mobil. Saksi yang sebagian besar merupakan keluargakorban tidak mengetahui kemana korban-korban tersebut dibawa. Bukti dari saksi Petrus mempertegas bahwa dalam aspek hukum HAM yakni Hak Non-Derogable Rights telah dilanggar oleh “Petrus”.
Hak lain yang dilanggar adalah Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture). Tindak penyiksaan sebagai berikut:
1.    Mayat korban yang ditemukan terdapat ada bekas jeratan di lehernya seperti dijerat dengan plat besi.
2.    Alat kelamin korban dibakar oleh orang yang mengambilnya.
3.    Mayat korban yang ditemukan dengan bekas luka jeratan di leher dan kedua telapak tangan korban gosong.
4.    Pada mayat korban terdapat biru di dahi dan pipinya.
5.    Salah seorang saksi korban yang selamat memberikan kesaksian bahwa  setelah dijemput dari rumahnya, saksi dipukuli dengan menggunakan rotan dibagian punggungnya.
6.    Saksi korban yang selamat lainnya memberikan kesaksian bahwa pada saat dia berada ditahanan Satgas Intel, para tahanan ‘dipestakan’ kata lain dari  dipukuli oleh petugas dengan pemeriksaan. Bentuk penyiksaan lainnya adalah dijemur dengan hanya memakai celana dalam di atas semen di lantai dasar menghadap matahari dari pukul 10 pagi sampai dengan 2 siang, atau direndam sambil duduk di dalam bak yang berisi air setinggi hidung dan di atas kepala tahanan dipasang kayu yang diberi paku agar tahanan tidak berdiri.
7.    Mayat korban yang ditemukan terdapat luka lebar di bagian belakang kepala dan luka tembak di bagian depannya.
8.    Mayat korban yang ditemukan dalam keadaan telanjang, badan penuh pasir, pipi kiri kanan penuh luka-luka gores seperti tergores aspal, di leher ada lingkaran menghitam seperti bekas diseterum, kaki kanan dan kiri ada lubang-lubang kecil seperti ditusuk dengan benda kecil misalnya jari-jari sepeda, kemaluannya diikat dengan tali. Pada mayat korban yang ditemukan dengan luka tembak di bagian kepala dari arah belakang sehingga pada bagian muka ada lubang besar, luka  tembak di punggung.
Ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Bentuk lain dari perampasan ini adalah  penangkapan tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dilaksanakan dengan beberapa cara sebagai berikut:
1.      Korban diambil dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak jelas identitasnya (biasanya korban dibawa dengan mobil). Sembilan orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak memperkenalkan diri sehingga tidak diketahui identitasnya, bahkan sebagian menutupi identitasnya dengan menggunakan penutup kepala hitam ataupun cadar. Sebagian korban dijemput dari kediamannya pada tengah malam ataupun dini hari menjelang pagi. Setelah dijemput dari rumahnya, korban kemudian dibawa dengan menggunakan mobil. Saksi yang sebagian besar merupakan keluarga korban tidak mengetahui kemana korban-korban tersebut dibawa.
2.      Korban diambil dari rumahnya oleh polisi tanpa alasan yang jelas, 21 orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari rumahnya oleh petugas kepolisian atau orang yang diduga merupakan anggota kepolisian tanpa mengemukakan alasan yang jelas dan tidak menunjukansurat  penangkapan. Sebagian hanya menyatakan bahwa korban hanya dipinjam sebentar untuk sebuah urusan. Beberapa orang korban dijemput dengan paksa, bahkan ada yang dibawa dalam todongan pistol.
3.      Korban diambil oleh tentara. Sebelas orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari rumahnya atau diambil dari suatu tempat oleh tentara atau orang yang diduga merupakan anggota tentara yang tidak memperkenalkan identitasnya dan tidak menunjukkan surat penangkapan. Namun kemudian sebagian besar korban tersebut ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Korban diambil dari tempat umum. Empat orang saksi menyatakan bahwakorban telah diambil dari tempat umum dengan paksa.
4.      Korban di ambil dari tempat ditahan. Salah seorang saksi menyatakan bahwa salah satu korban Petrus diambil dari  Lembaga pemasyarakatan setelah sebelumnya ditahan selama beberapa bulanoleh orang yang tidak dikenal dan menggunakan tutup kepala.
Menimbang bukti dari laporan Komnas HAM diatas, “Petrus” bisa disebut telah melanggar hak Non-Derogable Rights yang telah Indonesia Ratifikasi dari ICCPR tersebut. Negara Indonesia telah meratifikasi konvensi ICCPR tahun 2005, walaupun sebenarnya ketentuan yang ada di ICCPR hampir sama dengan isi Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Walaupun baru diratifikasi tahun 2005, sedangkan “Petrus” adalah kasus tahun 1980-an, bukan berarti tidak bisa diadili. Karena pada dasarnya Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila secara lantang menegaskan bahwa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Termasuk dengan mengadili pelaku “Petrus” merupakan perwujudan dari nilai-nilai keadilan bangsa ini.

Kesimpulan
Kasus Petrus merupakan salah satu dari banyak kasus pelanggaran HAM bangsa Indonesia. Perlu diingat, korba-korban Petrus juga manusia, memang mereka melakukan kejahatan akan tetapi mereka patut hidup dan dilindungi oleh Negara. Jika mereka bersalah, maka harus diproses hukum yang adil. Jika ingin negara aman, maka perbaiki struktur aparat keamanan dan sistem perekonomian agar rakyat sejahtera. Kita negara yang memiliki dasar konstitusi yang jelas sebagai falsafah bangsa, maka jadikan itu tolak ukur untuk menghukum para preman tersebut. Sehingga operasi keamanan seperti “Petrus” ini yang jelas illegal tidak terulang kembali. Penulis menyimpulkan tidak ada hak sekalipun negara untuk melakukan pembunuhan dengan alasan menekan kriminalitas apabila peng-aplikasiannya “serampangan”.






[2] http://historia.id/modern/petrus-kisah-gelap-orba diakses pada tanggal 13 November 2015 pukul 18.33
[4] http://www.merdeka.com/peristiwa/pengakuan-pak-harto-soal-petrus.html diakses pada tanggal 10 Desember 2015 pukul 21.30
[5] G. Dwipayana dan Ramadhan KH terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1988.
[6] Kompas, 6 April 1983 dan Kompas, 30 April 1983 dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius#cite_note-3
[11] Youtube dalam ‘Mata Najwa’ Berangus ala Petrus. Dilihat di https://youtu.be/qTZlezqe5Hs pada tanggal 10 Desember 2015 pukul 11.55
[12] Dra. Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi. PT. Gelora Aksara Pratama. hal. 22-23
[13] Soejono, D., Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976, hal 45
[14] http://kontras.org/home/index.php?module=berita&id=5395 diakses pada tanggal 11 Desember 2015 pukul 13.06