Rabu, 03 Juli 2019

Kisah Unik di Wisata Hutan Mangrove Surabaya

Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di kota Bu Risma. Kota Surabaya menurutku adalah kota yang asri. Sepanjang jalan-jalan utama penghijauan sangat terasa dan betul-betul adem. Tujuanku ke kota ini adalah mendampingi mahasiswaku untuk mengikuti lomba di salah satu univesitas negeri disana. Sehari sebelum lomba, kami sudah sampai menggunakan kereta dari Yogyakarta. Cus menggunakan gocar kami menuju hotel. Jam masih menunjukkan pukul 3 sore. Kami putuskan untuk menghabiskan waktu mengunjungi destinasi wisata di Surabaya. Pilihan kami awalnya adalah Taman Bambu. Namun, perkataan driver gocar yang mengatakan Taman Bambu tidaklah bagus berhasil mengubah tujuan kami ke Hutan Mangrove (rekomendasi driver gocar juga). 

Perjalanan dari hotel di daerah Rungkut menuju Hutan Mangrove ini kira-kira 25 menitan. Kami tiba pukul 4 sore. Tampak suasana sepi dengan beberapa pengunjung saja. Toko dagangan pun sudah tutup. Tidak ada pungutan apapun alias gratis masuk ke wisata alam ini. Sore yang cerah dan kami sangat bersemangat. Kami jalan menuju hutan, pemandangannya sangat asri, pohon bakau atau mangrove tertata rapi, ditambah binatang rawa seperti kepiting kecil dan ikan cempakul (nama yang dijuluki di daerahku Jambi tepatnya Kuala Tungkal). Kira-kira jalan panjang kayu sekitar 2 kiloan itu pun berakhir di ujung muara yang sangat tenang. Matahari menampakkan wujudnya untuk pamit. Sore itu sunset begitu mengagumkan disertai kicauan burung. Benar-benar membuat damai hati dan pikiran. Tak lupa kami mengabadikan moment-moment tersebut. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 5 lewat. Kami putuskan untuk pulang. 




Sesampainya di pintu keluar, adzan magrib berkumandang. Lantas, aku ke musholla terlebih dahulu. Setelah solat, cerita mencekam dimulai. Kami mulai panik karena mahasiswaku yang sejak aku solat hingga selesai, belum juga menemukan driver gocar. Tidak satupun gocar yang ter-detect ada. Padahal driver gocar sebelumnya mengatakan bahwa akan banyak gocar yang lewat. Kami menunggu sambil berjalan dengan suasana yang hampir gelap sambil tetap cek ke aplikasi gocar. Dan sampailah kami di persimpangan. Kami kebingungan harus memilih jalan yang mana. Setelah berdebat, aku meminta mahasiswa untuk putar balik. Suasana benar-benar hampir gelap dan tidak ada seorangpun. Lalu kami bertemu seorang bapak-bapak yang sedang menghidupkan api. Lantas kami dekati bapak tersebut untuk menanyakan dimana bisa dapet gocar terdekat.

"Jauh mbak kalau mutar. Masuk (nuju ke hutan)."

Lalu kami masuk lagi kehutan dengan suasana yang sepi. Tapi hati saya sangat berat untuk melangkah. Saya katakan "kita putar balik". Ketika kami memutuskan untuk putar balik, ada kejadian yang sangat mencurigakan. "4, di Semanggi". Kata bapak yang sebelumnya kami tanya itu. Sangat mencurigakan. Jika memang si bapak itu niat baik, dia tidak mungkin menyuruh kami kembali ke hutan dengan kondisi sudah mau gelap dan sangat sepi. Tak jauh dari sana, kami melihat ada seorang bapak yang duduk dan kami mendekatinya.

"Mbak ketinggalan rombongan ya?"
"Enggak pak, kami mau pesen gocar tapi gak ada".
"Gak ada gocar yang mau ambil penumpang kesini, apalagi jam segini".

Kemudian, si bapak memanggil teman-temannya yang lain. Dua orang bapak-bapak muncul dan menanyakan kami hendak kemana.

"Pak kami mau ke perumahan semanggi, mana tau bisa dapet gocar disana".
"Jangan mbak". Sahut salah satu bapak lantang.
"Kita antar sampai ke Stikom".
"Tapi pak jauh kan itu". (jaraknya kira-kira hampir 10 kilometer).
"Kami antar ke sana saja, kalau di kampus gocar banyak, jangan di semanggi, disana sepi".

Kami pun tidak punya pilihan. Dengan menggunakan motor kami dibonceng dengan 2 motor hingga menuju ke Stikom. Selama perjalanan, kami sempat mengobrol.

"Mbak ini kok bisa sampai malam, kalau ke hutan mangrover pulangnya maksimal pukul 5".

Singkat cerita kami pun sampai di depan Stikom. Dua orang bapak yang bernama Pak Lutfi dan Pak Inung menunggu kami sampai gocar kami datang. Pak Lutfi mengatakan bahwa wilayah itu rawan begal dan sangat sepi. Hal itu dibenarkan dengan driver gocar yang kami tumpangi. Bahwa area tersebut adalah area yang di blacklist oleh mereka. Berikut adalah foto bapak-bapak yang mengantarkan kami sejauh 10 kilo lebih dan tidak meminta bayaran seperserpun padahal saya dengan tidak enak hati mengatakan "Pak tanpa mengurangi ketulusan bapak menolong kami, berapa njih pak sudah sejauh ini mengantar kami?". "Tidak usah mbak, kami ikhlas".  Jawab bapaknya. Foto ini sengaja saya ambil sebagai kenangan.



Kalau bukan karena pertolongan Allah dan melindungi kami dikirim-Nya orang-orang seperti Pak Inung dan Pak Lutfi. Terima kasih sekali. Alhamdulillah. Semoga Pak Inung dan Pak Lutfi diberikan rezeki yang banyak, umur panjang, sehat, dan dilindungi oleh Allah SWT. Amin.
Dari kisah saya ini, semoga teman-teman yang akan berwisata di manapun selalu memastikan semuanya terkontrol dan aman. Dicek benar lokasi yang akan dikunjungi dan selalu berhati-hati.

Semoga ceritaku ini bermanfaat.