Sabtu, 02 Juni 2018

Yogyakarta dan Dia

Mengingat kenangan yang terukir di kalbu ini membuatku semakin merindukanmu.
Kau sosok yang aku jadikan tempat bertumpu.
Kau sosok yang mengatakan "iya" untuk melengkapi kebutuhanku.
Meninggalkanmu sendiri di sana saat itu, langkah kaki ini sangatlah berat untuk ucapkan perpisahan.
Meninggalkanmu dalam kesendirian yang begitu gelap, namun ku harap Tuhan memberimu teman di sana.

Jogja adalah kota dimana kau mengantarkanku untuk menimba ilmu.
Kota yang kau percayakan bisa membuatku menjadi anak yang pintar dan sukses.
Karena kau dengan gagahnya dan percaya akan kesungguhan anak gadismu ini.
Saat aku menulis ini, aku sudah bekerja sebagai seorang dosen dengan menamatkan S2-ku dalam waktu 1 tahun 3 bulan di Universitas Gadjah Mada yang sangat di impikan oleh bapakku agar anaknya bisa bersekolah disana, I did it.
Aku lihat pancaran kebanggaan itu kala kau hadiri wisudaku setahun yang lalu.
Ini fakta yang aku berikan padamu bapak. Bahwa kota ini menjadikanku pintar dan sukses seperti yang kau mau.
Bukan, bukan kota ini, tapi faktanya adalah kaulah sang pahlawanku, mamak sebagai peneduhku, motivasi terbesarku, kekuatan lahir bathin-ku yang membuatku mampu bertahan.

Kalau ku ingat kembali dulu saat kau mengantarku.
Saat itu aku menangis.
Bagiku itu adalah saat dimana ternyata meninggalkan rumah untuk merantau, dan memulai hidup mandiri ternyata sangat menguras emosi.
Perjalananku di kota ini menempatkanku di dua sisi, baik dan buruk.
Semua prosesnya aku jalani, aku syukuri, walaupun ada sisi gelap penyesalan jika saja waktu bisa kuputar.
Perjalananku di kota ini di sudut-sudut jalan kota ini, di sepanjang jalan, di bangunan-bangunan kota ini, ada torehan ingatan akan engkau bapak.

Hari ini kutuliskan untuk pertama kalinya tentang perasaan yang hadir sejak kau tiada, yang aku sendiri tak tau perasaan apakah ini, sedih, gelisah, kehilangan, semangat, entahlah.
Perasaan yang aku coba tutupi, kubiarkan saja, aku anggap biasa-biasa saja.
Perasaan yang mendorongku untuk teriak, liar, melawan, memberontak, bebas, frustasi dan amarah.
Perasaan yang menjebakku dalam cinta fana, kesenangan sesaat, terlena, dan merasa bodoh.
Perasaan yang campur aduk tersebut aku rasakan sejak kau pergi, tanpa kusadari bahwa selama ini kau lah pelipur segala gundah, rasa tak tentu arah, dan kusematkan kau sebagai tumpuanku.

Bapak,
Bintang di langit mungkin tak sanggup menunjukkan terang cahaya nya untuk mewakili perasaan rinduku.
Rumput yang memanjang lalu sudah layu dan kembali menghijau seperti rinduku yang terkadang diam karena kesibukan, lalu bergerak muncul lagi dan terkadang sulit kukendalikan.

Usiaku memasuki 24 tahun.
Entah sejak kapan aku mulai "mencari".
Aku berkelana mencari tumpuan baru.
Aku berkelana hingga aku tersesat sendiri.
Ternyata aku masih terlalu mentah memaknai perasaanku sendiri.
Ternyata aku masih terlalu hijau memaknai apa itu cinta.
Karena aku pernah gagal dalam menjalani hubungan yang aku kira sudah matang, namun ternyata masih mentah.
Tapi sekalipun begitu, aku terus berkelana.
Menemukan tumpuanku yang paling tidak bisa mendekati sosokmu.
Belum kutemukan.
Bahkan aku sudah mencoba.
Belum ada.
Belum ada yang sepertimu bapak.
Mungkin bukan di kota ini, entahlah.
Mungkin juga ia akan datang sendiri, entahlah.

Belakangan aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak bisa kau kuasai, kau kontrol, tapi hanya bisa kau usahakan dan terus berharap yang terbaik dari Tuhan.
Yaitu: tumpuan hidupku kelak.
Tapi setelah kurenungkan kembali, Tuhan memang sangat misterius.
Ia mempertemukan dengan sekian laki-laki yang beragam karakter, lalu datang dan pergi, tapi belum kutemui penjelasan apa yang ingin Dia sampaikan kepadaku dengan membiarkanku berkelana.
Namun hari ini aku sangat bersyukur diberikan laki-laki yang menghiburku selalu di kala ku sedih lelah, dan patah hati, yaitu adik-adikku.
Tuhan itu memang Maha Asik, teman.

Bapak,
pesanmu ketika kau hidup dulu selalu ku ingat.
Temani aku terus walau kau tak lagi di dunia ini.
Tolong jaga aku Tuhan
Jaga Bapak, Mamak, dan Adik-adikku.
Tolong halangi aku dari perbuatan bodoh yang mungkin aku bisa lakukan.
Tolong jangan tinggalkan aku dalam kesendirian.
Sungguh kesendirian itu menguatkan namun melelahkan.


(3 Juni 2018, Puasa Ramadhan ke-18, Pukul 01.02)