Sabtu, 24 Februari 2018

Telaga Ngebel di Ponorogo: Wisata Alam yang Memiliki Nilai Historikal Tapi Murah Meriah

Ponorogo, 23-25 Februari 2018
Edisi: International Conference Al-Quds di UNIDA Gontor+ Nyambi Travelling

Ponorogo terkenal dengan sebutan Kota Reog. Saya berkesempatan mengunjungi kota ini bersama adik saya karena kebetulan akan menghadiri konferensi di UNIDA Gontor. Tak membuang kesempatan ini, saya sempatkan untuk menjelajahi keindahan alam Ponorogo yang cukup terkenal yakni Telaga Ngebel.

Lokasi Telaga Ngebel sendiri sekitar 1 jam dari pusat kota.
Bisa ditempuh dengan go-car karena lebih nyaman tapi mungkin agak mahal.
PP sekitar 200 ribuan. Alternatif lain mungkin temen-temen bisa menggunakan motor pribadi atau sewaan.
Setibanya di lokasi, saya dan adik di sambut dengan pemandangan hehijauan dan air telaga yang luar biasa indah, airnya tenang tidak bergelombang, dan pada saat itu volume air sedang tinggi, jadi dari jalan raya itu sangat dekat sekali.
Kita juga akan disambut dengan jajakan makanan laut (gurame, nila, kakap dkk) hingga jejeran durian yang siap santap. Oh iya, wisatawan tak usah risau untuk kebersihan toilet sangat terjamin. 


Wisata alam Telaga Ngebel terletak di kaki Gunung Wilis. Cuacanya sangat alami dan sejuk, namun medan menuju lokasi ini berkelok-kelok dan kondisi jalan yang sempit mewajibkan pengemudi ekstra hati-hati, apalagi jika di tikungan. 
Wahana wisata yang ditawarkan di Telaga Ngebel yaitu SpeadBoot, harganya untuk trip yang biasa Rp. 60.000,- sedangkan yang ekstra Rp. 100.000,-
Saya memilih paket ekstra karena kita akan mengelilingi tepian seluruh telaga sampai puas, memakan waktu 30 menitan.
Kita juga bisa request mau ngebut atau pelan saja.
Speetboat sendiri memang kepunyaan warga setempat sejak 2009. 
Kita juga bisa memilih wahana lain yaitu kereta kapal yang disediakan pemerintah daerah sejak 2004, sayangnya kereta kapal ini beroperasi jika kuota penumpang sudah mencukupi.

Owh ya, tidak perlu cemas jika mau poto-poto selfie/wefie, si bapak speedboat dengan cekatan akan memotret Anda (tanpa biaya tambahan).

Selama perjalanan menikmati keindahan telaga dan percikan air dengan hembusan angin yang sejuk, saya bercakap-cakap dengan si bapak pengemudi speedboat (sayangnya saya kelupaan nanya nama si bapak) tentang seluk beluk Telaga Ngebel. Berikut hasil wawancara saya:

1. Telaga Ngebel adalah telaga yang terjadi secara alamiah karena letusan Gunung Wilis yang akhirnya mengeluarkan air, memiliki kedalaman hampir 48 meter, dibuat sistem perairan buka tutup agar mampu mengatur masuknya air, apabila air tinggi maka dari pintu masuk ditutup. Bendungannya sendiri adalah bekas peninggalan Belanda dulu, sedangakan untuk terowongan airnya dibuat oleh Jepang. "Itu loh mbak yang disana pembatas jembatan yang dibuat pemerintah wes longsor, padahal baru 2 tahun dibangun".

2. Telaga Ngebel juga menjadi tempat sakral dimana akan di selenggarakan acara sakral Larungan dengan membuat semacam tumpeng dari ketan, dan juga disertakan buah-buahan. Termasuk di malam satu suro akan dilaksanakan ritual di Telaga Ngebel. Setiap 2 bulan sekali akan diselenggarakan penampilan Reog Ponorogo untuk memikat wisatawan.

3. Di Telaga Ngebel sendiri dihuni oleh beragam jenis ikan, tetapi ada ikan ciri khasnya sendiri namanya Ikan Ngongok, kata si bapak bentuknya mirip ikan bandeng. Tak kalah mencengangkan, hidup juga ikan Patin seberat 36 kilo. Dan di beberapa kesempatan ikan Patin ini akan ke permukaan melompat-lompat. Sayangnya pas saya kesana, ikannya agaknya malu menampakkan diri.

4. Di sekeliling Telaga Ngebel dikelilingi hutan lindung dibawah tanggung jawab Perhutani. Si bapak mengklaim hutan dan tekstur tanah aman dari longsor karena pepohonan lebat, dilarang ditebang karena hutan lindung.

5. Jika kita datang pada musim kemarau maka puncak bukit yang tertutup air di kedalam 12 meter akan keliatan.

6. Si bapak juga mengatakan bahwa kedalaman air di Telaga Ngebel terdapat dua titik tempat yang belum bisa di deteksi oleh sonar (sonar sendiri hanya mampu mengukur kedalaman air sedalam 60 meter), prediksi petugas saat itu terdapat sungai dibawah kedalam 60 meter, hingga sekarang belum bisa dipastikan.

7. Jika temen-temen melihat mesjid berkubah warna emas, nah itu merupakan mesjid pertama yang ada di Telaga Ngebel.

Itulah beberapa poin hasil wawancara saya dengan si bapak.
Sangat menyenangkan bisa refresh mata dan pikiran sekaligus menambah wawasan baru tentang seluk beluk Telaga Ngebel.
Sekian.




Senin, 12 Februari 2018

LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Amerika dan Eropa

Sejarah, Trend, dan Agenda Politik Amerika dan 
Beberapa Negara Eropa Menyoal Diskursus LGBT

Penulis: Tiffany Setyo Pratiwi 
Februari 2018

Dari literatur yang Penulis dapatkan, penamaan LGBT dalam sejarahnya belum ada. Sehingga yang banyak ditemukan ialah homoseksual, lesbian, ataupun gay. Eropa dan Amerika bisa dikatakan menjadi tempat dimana isu-isu tersebut mulai dikenal. Berikut sejarah singkatnya.
Sejarah adanya kaum homoseksual ataupun LGBT di Eropa mulai ada bahkan sejak Era Renainanse, seorang peneliti bernama Giovanni yang mencoba mempelajari tentang homoerotics motif menjadi tokoh yang memperkenalkan isu ini. Namun konseptualisasi homoseksual di Eropa sebenarnya mulai teramati dengan jelas saat memasuki abad ke-18, tepatnya di Inggris. Dan beberapa percaya bahwa munculnya konsep homoseksual juga dilatarbelakangi dengan maraknya penganut atheis. Di era ini, homoseksual, lesbian termasuk dosa besar bagi gereja Katolik-Protestan sehingga masih sangat tabu untuk dibicarakan.
Baru memasuki abad ke-19 terjadi perubahan terhadap perkembangan isu LGBT, yang mana untuk pertama kalinya pergerakan masyarakat sipil homoseksual lahir di Jerman. Sama halnya di Inggris kesadaran pergerakan mendukung homoseksual mulai tercium dengan diluncurkannya sebuah drama komedi bertemakan homoseksual oleh Oscar Wilde di tahun 1895. Setelah Perang Dunia Ke-1, Paris menjadi kota dimana kaum gay dan lesbi intelektual dunia berkumpul bahkan termasuk yang dari Amerika. Pertemuan mereka menghasilkan banyak tulisan yang isinya tentang variasi seksual, penulis yang cukup terkenal bernama Gertrude Stein. Kesadaran untuk memperjuangkan hak homoseksual semakin besar pasca peristiwa fenomenal di Jerman yakni Holocaust, yang memakan korban hampir jutaan kaum homo di bunuh di kamp konsentrasi.[1]
Agak berbeda dengan Eropa, di Amerika ternyata homoseksual sudah terdeteksi menjadi perilaku di kalangan masyarakat adatnya yakni orang India dan orang Eskimo, banyak di antaranya yang memiliki tradisi homoseksual sendiri, disebut berdache. Memasuki pertengahan abad ke-19 berbarengan dengan masuknya imigran dari negara-negara Eropa (Inggris, Jerman, Irlandia, Italia, Perancis, Yunani, dan orang-orang Skandinavia) dan budak dari Afrika ke Amerika ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan homoseksual di Amerika sendiri.
Di tahun 1919, media massa di Amerika mulai menyebarluaskan konsep tentang pemikiran atau ide ide Androphillia (Androphilia dan gynephilia adalah istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku untuk menggambarkan orientasi seksual, sebagai alternatif dari konseptual homoseksual gender dan heteroseksual gender).[2] Namun berbeda dengan posisi media massa yang mendukung isu-isu homoseksual, bagi pasukan tentara yang bertarung di Perang Dunia ke-2, mereka menolak mentah-mentah adanya homoseksual dan lesbian.
Di dalam bukunya Susan Ferentinos seorang peneliti yang berfokus pada isu-isu LGBT, memaparkan pertumbuhan mobilisasi pendukung LGBT sangat signifikan sejak tahun 1960 yakni gerakan pembebasan gay dan lesbian Stonewall, yang juga berbarengan dengan The Black People Movement.[3] Namun, berkembangnya dukungan isu homoseksual di Amerika ternyata juga berbanding lurus dengan penolakan yang datang. Apalagi di tahun 1980-an, terjadi lonjakan cukup tajam angka penderita AIDS di Amerika yang mana di sumbang dari kaum homoseksual.[4]
Lalu bagaimana trend LGBT begitu meluas di abad ke-21 ini baik di Eropa dan Amerika bahkan menjadi isu yang mendunia. Hal penting yang mendukung fenomena global ini ialah mobilisasi pendukung HAM LGBT sangat meluas dan bisa dikatakan menyasar seluruh dunia. Namun suara mereka bukan hanya diungkapkan dalam jangka waktu setahun atau dua tahun akan tetapi sudah dilakukan jauh sebelum itu seperti yang Penulis jelaskan di paragraf sebelumnya. Faktor lain meningkatnya kesadaran pentingnya hak LGBT dalam beberapa tahun terakhir bisa sangat mungkin karena pendapat publik saat ini tumbuh jauh lebih toleran daripada sebelumnya. Namun pendapat publik yang lebih toleran ini sebelumnya dipengaruhi juga dengan situasi ekonomi dan politik yang mulai berubah secara dramatis di tahun 1970-an, yang mana membantu memberikan suara politik yang lebih kuat kepada kaum LGBT. Secara khusus, aktivis LGBT di New York City telah menjelma menjadi kekuatan yang sangat signifikan dalam politik elektoral sejak pertengahan 1970-an. Fakta menarik lainnya, kekuatan LGBT di Amerika bahkan bisa menembus Gedung Putih dan pemilihan Senat di tahun 1990-an.[5]
Tidak bisa dipungkiri bahwa memang lobi-lobi politik kelompok kepentingan merupakan suatu hal yang biasa ditempuh dengan maksud agar suara ataupun keinginan kelompok kepentingan tersebut bisa terealisasi, entah itu lewat kebijakan atau undang-undang yang dikeluarkan pemerintah. Hal inilah yang menjadi salah satu cara yang ditempuh kelompok homoseksual di Amerika. Bahkan menjadi pendukung Kelompok Kiri Amerika (American Left), tokoh yang berpengaruh dalam lobi politik soal hak LGBT di Amerika diantaranya ada Tim Gill seorang milyader perusahaan software, menjadi sosok yang kental membangun strategi di tingkat nasional untuk mendukung hak-hak kaum gay LGBT. Nama lain ada David Geffen yang juga mendonasikan uangnya untuk mendukung hak-hak LGBT. Faktor penting lainnya karena semakin dikenalnya Pop Culture dan Hollywood, yang secara nyata berperan membuat 89% masyarakat Amerika saat ini menerima homoseksual sebagai hal yang normal di kehidupan seksual mereka bahkan untuk pernikahan.[6] Sudah banyak negara bagian di Amerika seperti Connecticut, Columbia, Iowa, Vermount, New Hamphire, New York, California, Nevad, New Jersey, Oregon, dan Washington memperbolehkan pernikahan sesama jenis dan memberlakukan hukum same-sex unions.[7] Belanda jauh lebih dulu melegalkan pernikahan sesama jenis di tahun 2001 lalu diikuti negara Eropa lainnya.
 Secara terang-terangan ketika pemilu Presiden Amerika di tahun 2000, baik kandidat dari Partai Demokrat dan Republik sama-sama menggunakan isu LGBT dalam kampanye mereka.[8] Hal ini cukup beralasan karena untuk menggapai pemilih-pemilih yang pro-LGBT. Fakta menarik lainnya yang membuat LGBT sangat dipertimbangkan dalam agenda politik Amerika karena fundraisers LGBT sangatlah kooperatif dalam setiap pemilihan Presiden Amerika. Contohnya saja ketika Clinton mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden dari Partai Demokrat, pendukung LGBT yang mendukung Clinton mempu mengumpulkan dana hampir 900.000 dollar Amerika.[9] Sehingga tidak mengherankan saat ini agenda politik Amerika salah satunya yang berpengaruh ialah perlindungan HAM LGBT. Karena situasi tersebut juga sama halnya ketika pemilihan Presiden Obama, yang juga membawa isu-isu LGBT sebagai agenda politiknya karena konstituen gay dan lesbian yang mendukung Demokrat jumlahnya tidaklah sedikit.[10] Gambaran ini menunjukkan kaum gay dan lesbian bisa memiliki posisi tawar yang signifikan di perpolitikan Amerika karena pemilihnya dan isu yang dibawa di kerangkai oleh konsep HAM global.
Jika menilik di Benua Eropa, hal penting yang membuat agenda politik terkait LGBT mulai terbuka dikarenakan terbitnya aturan orientasi seksual di klause anti diskriminasi Artikel Nomor 13 di Perjanjian Amsterdam EU tahun 1990.  Artikel ini menjadi aturan hukum pertama kalinya yang secara eksplisit mengatur masalah orientasi seksual yang tidak boleh di diskriminasi.[11] Setelah adanya aturan SSU (Same-sex Unions), HAM Eropa secara keseluruhan kemudian negara-negara di Eropa mengadopsinya ke dalam agenda politik nasional mereka. UK sendiri telah mengadopsi SSU di tahun 2004. Menurut laporan dari World Values Online Integrated, persentase toleransi terhadap homoseksual di UK setelah pemberlakuan SSU meningkat yang awalnya 16% menjadi 22% di tahun 2006.[12] Sehingga memasuki abad ke-21, bukanlah hal yang aneh jika pernikahan sesama jenis menjadi agenda di Eropa dan Amerika.[13]
Dengan menggunakan konsep hak asasi manusia institusi tertentu atau bahkan pemerintah baik di Eropa dan Amerika yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk didengarkan, menempatkan isu LGBT sebagai isu krusial dalam agenda politik mereka. Hak kaum LGBT telah muncul sebagai isu penting di kancah internasional. Contoh yang terjadi di UK sebagai bukti, pada tahun 2011, Perdana Menteri Inggris David Cameron menyarankan untuk mencabut bantuan luar negeri ke negara-negara sesuai dengan kepatuhan mereka terhadap hak asasi manusia, termasuk bagaimana mereka memperlakukan orang-orang gay dan lesbian. Di media Barat, negara-negara Afrika dan Islam menjadi negara sebagai lawan agenda politik tersebut.[14]
Pencantuman isu hak gay dan lesbian pada agenda hak asasi manusia internasional telah tersebar di banyak negara di dunia. Sayangnya gerakan gay dan lesbian tidak diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Meskipun demikian, gerakan tersebut telah mencapai keberhasilan dalam mengakses banyak negara-negara Barat dengan sistem demokrasi melalui Uni Eropa dan mampu masuk dalam agenda politik Uni Eropa. Bahkan PBB telah merilis UN Report tentang hak LGBT oleh High Commissioner for Human Rights yang disahkan tahun 2011. Yang tak boleh dilupakan pula ialah bagaimana sepak terjang LSM lokal gay dan lesbian yang meningkatkan posisi penting isu LGBT di Eropa dan dunia. Misalnya saja, LSM lokal LGBT di Eropa Tengah dan Timur yang mana telah menempatkan posisi mereka mampu di dengar dalam forum internasional dan mampu mendapatkan dukungan luar biasa dari LSM internasional.[15] Pencapaian lainnya, mereka telah memiliki institusi internasional sendiri bernama International Gay and Lesbian Youth Organization (IGLYO) yang sudah memiliki kantor permanen di ibukota Solvenia, Ljubljana.[16]Perdebatan tentang HAM LGBT tentu masih ada, namun Amerika dan Eropa menjadi bukti bahwa proses untuk menerima hak LGBT mengalami peningkatan yang sangat besar dari tahun ke tahun di berbagai bidang, baik itu kultur sosial hingga agenda LGBT yang mampu menjadi agenda politik negara-negara di Eropa dan negara bagian di Amerika.



[1] Dynes, Wayne. Stephen Donalson. 1993. History of Homosexuality in Europe and America. Penerbit: Routledge. Hal. xv-xvii
[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Androphilia_and_gynephilia diakses pada tanggal 28 Januari 2018 Pukul 11.00
[3] Ferentinos, Susan. 2014. Interpreting LGBT History at Museums and History Sites. Penerbit: Rowman and Littelefield. Hal.77
[4] Dynes, Wayne. Hal. xvii-xix
[5] Smith, A. Reymond. Donald Markel. 2002. Gay and Lesbian Americans and Political Participation. Penerbit: ABC-CLIO California. Hal. 144 dan 155
[6] Deace, Steve. 2016. Rules for Patriots: How Conservatives Can Win Again. Penerbit: Newyork Post Hill Press. Hal. 16
[7] Brym. J. Robert. John Lie. 2012. Sociology: Pop Culture to Social Culture. Penerbit: Wadsworth USA. Hal. 245
[8] Smith, A. Reymond. Hal. 148
[9] Ibid. 160
[10] Harris, Frederick. 2012. The Price of Ticket: Barack Obama and The Rise and Decline of Black Politic. Penerbit: Oxford University Press. Hal.-
[11] Kollman, Kelly. The Same Sex Unions Revolution in Western Democracy: International Norms and Domestic Change. Penerbit: Oxford University Press. Hal 77
[12] Kollman, Kelly. Hal. 80
[13] Bardes. A Barbara, dkk. 2016. American Government and Politics Today. Penerbit: Cengage Learning USA Hal.381
[14] Evans, Mary. Dkk. 2014. The SAGE Handbook of Feminist Theory. Penerbit: SAGE Publishing. Hal. 298
[15] The Fletcher Forum of World Affair, 1998. Volume 22. Hal. 81
[16] Sears, T. James. 2005. Youth, Education, and Sexualities. Penerbit: Greenwood Publishing Group. Hal. 308

Jumat, 09 Februari 2018

Kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Teknologi Yogyakarta

Bagi teman-teman yang sekarang sedang duduk di kelas 3 SMA, yang sebentar lagi menghadapi Ujian Akhir (UAN), semoga di mudahkan menjawab soal-soalnya dan mendapatkan nilai terbaik. Amin. Tentunya teman-teman pasti sudah mempersiapkan apa yang akan dilakukan setelah tamat. Mungkin ada yang akan bekerja langsung, dan tidak sedikit pula yang mulai memilih untuk melanjutkan kuliah.

Yogyakarta menjadi kota dengan daya tarik luar biasa bagi pelajar se-Indonesia untuk melanjutkan jenjang sarjananya. Yogyakarta mempunyai segudang pilihan untuk pelajar yang berminat melanjutkan kuliahnya. Baik kampus negeri dan swasta tersedia, sekolah tinggi dari kesehatan hingga pertanahan pun tersedia disini. Destinasi utama mereka tentunya kampus biru Universitas Gadjah Mada. Memang kampus yang satu ini tidak lekang oleh jaman, mau jaman saya dulu sampai sekarang tetap nomor wahid. Sayangnya tidak bisa semua berkuliah disini.

Tapi tenang saja, alternatif kampus lain yang oke dan juga bagus untuk kamu menimba ilmu salah satunya Universitas Teknologi Yogyakarta. Kampus ini berlokasi di Ringroad Jombor, memiliki beragam jurusan, Teknik Elektro, Teknik Industri, Teknik Sipil, Manajemen, Akutansi, Bahasa Jepang, Bahasa Inggris, Bimbingan Konseling, Psikologi, Komunikasi dan yang satu ini adalah jurusan baru yang ditawarkan yaitu Ilmu Hubungan Internasional (HI) yang sejak 2016 sudah dibuka. 

Berbeda dengan jurusan HI dikampus lainnya, HI UTY menawarkan konsentrasi berbeda yaitu berfokus pada diplomasi ekonomi. Adapun mata kuliah yang ditawarkan di Prodi Ilmu Hubungan Internasional diantaranya:

1. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional
2. Ide-ide Politik
3. Teori Hubungan Internasional
4. Demokrasi dan HAM
5. Resolusi Konflik
6. Migrasi Internasional
7. Diplomasi Ekonomi Uni Eropa
8. Diplomasi Ekonomi Amerika
9. Diplomasi Ekonomi Asia Tenggara
10. Kajian Strategis dan Keamanan
11. Politik Luar Negeri Indonesia
12. Sejarah Dunia
13. Perbandingan Politik
dan masih banyak lagi

Menarik banget kan mata kuliahnya?
Apalagi ditambah dosen-dosen yang mengajar sudah memiliki bidang kajiannya masing-masing sehingga mahasiswa akan mendapatkan proses pembelajaran yang segar dan update. Proses belajar di kelas juga akan mendatangkan pemateri dari luar negeri, hal ini dilakukan guna memberikan informasi dan ilmu yang lebih mendalam, sehingga mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Seminar dan Workshop juga rutin dilakukan untuk memfasilitasi mahasiswa dalam belajar. 
Soal biaya, per-semester HI nya juga sangat terjangkau, kira-kira berkisar 3-jutaan dengan biaya SKS 125.000 rupiah, dibandingkan dengan biaya kampus lain yang jauh lebih mahal. 

Untuk pendaftaran mahasiswa baru, teman-teman bisa datang langsung ke Bagian Penerimaan Mahasiswa Baru UTY di Jalan Ringroad Jombor Yogyakarta atau langsung kunjungi website resminya di http://uty.ac.id atau https://pmb.uty.ac.id
Calon mahasiswa akan mengikuti tes masuk yang diselenggarakan UTY.

Semoga informasi ini bermanfaat.


The Development of Indigenous People Rights to Their Land through Political Participation and International Norm in Latin America

This writing has published in Jurnal Transformasi Global Universitas Brawijaya Volume 4, No: 01 2017
Access on http://transformasiglobal.ub.ac.id/index.php/trans/article/view/58


THE DEVELOPMENT OF INDIGENOUS PEOPLE RIGHTS TO THEIR LAND THROUGH POLITICAL PARTICIPATION AND INTERNATIONAL NORM
IN LATIN AMERICA
Tiffany Setyo Pratiwi
Staff Pengajar Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Teknologi Yogyakarta
tiffany.pratiwi@staff.uty.ac.id

Abstract
This paper will explain about how indigenous people as minority group receive their recognition and accommodation by government, especially in implementation of international norm that pertains to indigenous peoples and recognized in the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) and Convention ILO 169. This paper will explore the issue in Latin Amerika region. To achieve the objective of this paper, author will explain in two main themes: First, the development of the political participation indigenous people in Latin American states. Second, the rights of indigenous people to their ancestral land through international norm FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) that adopted in Latin America states. I argue that the development of indigenous people rights to their land in Latin America is supported by political participation of indigenous people in the government system in Latin America states.

Keywords: indigenous people rights; international norm; Latin America; political participation.

Abstrak
Artikel ini akan menjelaskan tentang bagaimana masyarakat adat sebagai kelompok minoritas menerima pengakuan dan akomodasi dari pemerintah, terutama dalam penerapan norma internasional yang berkaitan dengan masyarakat adat dan diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) dan Konvensi ILO 169 terhadap hak tanah adat. Artikel ini membahas permasalahan yang terjadi di wilayah Amerika Latin. Artikel ini akan disusun kedalam 2 sub pembahasan: Pertama, perkembangan partisipasi politik masyarakat adat di negara-negara Amerika Latin. Kedua, hak masyarakat adat terhadap tanah leluhur mereka melalui norma internasional FPIC (Free, Prior, dan Informed Consent) yang diadopsi di negara-negara Amerika Latin. Akhirnya Penulis berpendapat bahwa perkembangan hak masyarakat adat atas tanah mereka di Amerika Latin tak terlepas karena dukungan partisipasi politik masyarakat adat dalam sistem pemerintahan di negara-negara Amerika Latin.

Kata Kunci: hak masyarakat adat; norma internasional; Amerika Latin; partisipasi politik.

Reference:
Book:
Ahren, Mattias. 2016. Indigenous Peoples Status in the International Legal System. United Kingdom: Oxford University Press.
Baranyi, Stephen. 2001. Land and Development in Latin America. Canada: The North-South Institute.
Booth, John A. 2014. Latin American Political Culture. London: SAGE.
Carmen, Andrea. 2010. The Right to Free, Prior, and Informed Consent: A Framework for Harmonious Relations and New Processes for Redress. In Jackie Hartley, Realizing The United Nations Declaration. Canada: Purich Publishing Ltd.
Cleary, Edward L. Timothy J. Steigenga. 2004. Resurgent voices in Latin America: Indigenous People, Political Mobilization, and Religious Change. London: Rutgers University Press.
Eisenberg, Avigail and Halev, Jeff Spinner. 2005. Minorities Within Minorities: Equality, Rights and Diversity. United Kingdom: Cambridge University Press.
Hall, Gillette. 2005. Indigenous Peoples, Poverty and Human Development in Latin America. New York: Palgrave Macmillan.
Kurtz, Lester R. 2008. Encyclopedia of Violence, Peace & Conflict: Volume 3. United Kingdom: Elsevier.
Kuprecht, Carolina. 2013. Indigenous People of Cultural Property Claims. London: Springer.
Kymlicka, Will. 2017. The Internationalization of minority rights. In Joshua Castellino, Global Minority Rights. London: Routledge.
Lucero, Jose A. 2013. In Peter Kingstone, Routledge Handbook of Latin American Politics. London: Routledge.
Malloy, Tove H. 2013. Minority Issues in Europe: Rights, Concepts, Policy. Germany: Frank & Timme GmbH.
Rachel, Sieder. 2002. Multiculturalism in Latin America: Indigenous Rights, Diversity, and Democracy. London: Palgrave Macmillan.
Rodriguez, Luis. 2010. Political Participation System Applicable in Indigenous People. In Marc Weller, Political Participation of Minorities: A Commentary of International Standards and Practice. New York: Oxford University Press.
O’Toole, Gavin. 2014. Politics in Latin America. New York: Routledge.
IWGIA. 2001. Indigenous People Experience with Political Parties and Election. Denmark: IWGIA Document.

Online:

Boosting indigenous peoples' political participation crucial for development, says UNDP (2012), link: http://www.undp.org/content/undp/en/home/presscenter/articles/2012/05/11/boosting-indigenous-peoples-political-participation-crucial-for-development-says-undp.html Accessed 8 December 2017

Indigenous People in Latin America, link: https://www.cepal.org/en/infografias/los-pueblos-indigenas-en-america-latina Accessed 3 December 2017.

Beyond Numbers: The Participations of Indigenous People in Parliament, link: http://archive.ipu.org/pdf/publications/indigenous-sur-en.pdf Accessed 6 Desember 2017
Report on indigenous political representation: Introduction and summary (2017), link: https://theglobalamericans.org/2017/10/report-indigenous-political-representation-introduction-summary/ Accessed 8 December 2017

Kamis, 08 Februari 2018

Perpanjangan Passport di Yogyakarta

Karena tidak ada guru yang paling bijak selain pengalaman. Ya, pernyataan itu memang benar dan aku sendiri mengalaminya, sehingga pada kesempatan ini aku pengen berbagi pengalaman tersebut. Jadi begini ceritanya:

Rencanaku untuk mengikuti sebuah konferensi internasional di negeri Jiran akhirnya bisa terwujud saat email masuk untuk konfirmasi di terimanya aku sebagai delegasi. Persiapan mulai kulakukan dua minggu mau keberangkatan pada tanggal 5 Desember 2017. Bahkan aku sengaja membuat Reading Bricks sendiri yang kurangkum dari jurnal, berita online, dan artikel guna menunjang pengetahuanku tentang tema Sustainable Development Goals, tema konferensi yang akan aku ikuti.
Jadwal kegiatan yang berlangsung 5 hari itu sudah di tangan. Dress code semua sudah dipersiapkan. Lalu, tiket pesawat PP KL-Yogyakarta pun sudah beres.
Tibalah di hari keberangkatanku.
Turun dari taksi, menemuimu temanku yang sudah menunggu di bandara.
Disinilah pengalamanku perpanjang passport di mulai.
Memasuki pintu keberangkatan, menuju tempat check-in.

Mbak Air Asia: Berapa orang yang berangkat?
Me: Dua mbak.
Mbak Air Asia: Boleh saya minta KTP dan Passport-nya?
Setelah itu...

"Mohon maaf, untuk passport dengan nama Tiffany Setyo Pratiwi tidak bisa kami proses"
Aku kaget, iya dan bingung apalagi.

"Kenapa tidak bisa mbak", sahut Aul (temenku)
"Karena masa berlakunya tinggal 5 bulan lagi, paling maksimal 6 bulan, peraturan di sini dan di Malaysia begitu".

Aku hanya diam karena aku sudah mengira aku tidak bisa berangkat.
Tapi temenku berusaha keras agar kami bisa berangkat bersama.
Bahkan aku sudah mengupayakan dialog yang super diplomatis.
Hingga kami diantar berbicara dengan pihak Air Asia yang menangani soal ini.
Hasilnya tetap sama.

*Kembali saat dua minggu sebelum keberangkatan:
"Apakah Passport saya masih bisa digunakan?"
"Bisa, tidak ada masalah" Jawab Panitia Penyelenggara Konferensi.

Lalu, muncul pertanyaan "Kok bisa booking tiket kalau memang passportnya sudah hangus, seharusnya Air Asia tidak memberikan ijin untuk membeli tiket, PP bahkan?"

Pertanyaan itu dijawab pihak Air Asia dengan kalimat seperti ini sewaktu di bandara:
"Ini kesalahan penumpang yang tidak teliti untuk memeriksa aturan masa berlaku passport"

"Baik pak, sangat mungkin memang kesalahan itu ada pada saya, namun kesalahan juga ada di pihak Bapak yang tidak memberikan penjelasan kepada kami saat membeli tiket".

Singkatnya, aku tidak bisa berangkat, dan dengan sangat tidak enak temenku meminta maaf karena kejadian tersebut.
Akan tetapi, pihak panitia yang mengetahui kejadian ini berkenan bertanggung jawab.
Cukup melegakan, karena aku akan mengikuti konferensi lainnya di tanggal 11.

Hari itu juga dari bandara dengan ojek dadakan mas cleaning service nganterin ke kantor imigrasi.
Saat itu aku teringat firman Allah, yang bunyinya kurang lebih seperti ini:
"Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan"

"Selamat siang mbak", sapaku hangat.
Mbak saya ingin menanyakan apakah bisa perpanjang passport one-day service?
"Maaf mbak perpanjang passport memakan waktu 3 hari kerja, dan mbak harus daftar online terlebih dahulu untuk dapat jadwal antrian".

Singkat cerita: tanpa harus antri online yang sebenarnya sudah penuh hingga akhir desember, aku diperbolehkan daftar keesokkan harinya. Tentunya setelah melakukan lobbying alot dengan atasannya langsung dan menceritakan kondisiku yang harus berangkat ditanggal 11.

Lalu apa saja syarat perpanjang passport?

1. Membawa KTP Asli dan Fotokopiannya
2. Bawa passport lama kamu
3. Mengisi Form yang memang sudah disediakan pihak Imigrasi
4. Membayar uang perpanjangan passport Rp. 355.000, bisa di bank atau kantor pos.
5. Bawa pena sendiri.

Lalu untuk membuat passport baru, syaratnya agak lebih banyak dan lebih lama (5 hari kerja):

1. Kartu Keluarga (KK) Asli dan Fotokopian
2. KTP Asli dan Fotokopian
3. Akte Kelahiran Asli dan Fotokopian
4. Mengisi Form yang sudah disediakan pihak imigrasi
5. Bawa pena sendiri.
6. Biayanya sama Rp. 355.000 untuk passport 48 halaman.
7. Menyertakan surat rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama Provinsi dan Surat Keterangan Travel Umroh (Syarat wajib lainnya jika ingin membuat passport untuk keperluan Umroh)
8. Menyertakan surat keterangan menghadiri Konferensi, LoA, Surat dari Penyelenggara Acara bahwa kita sebagai delegasi atau pemateri dsb.

Apa aja prosedur yang dilalui?

1. Masukkan berkas
2. Tunggu
3. Nomor Anda dipanggil
4. Menuju loket
5. Anda akan di wawancarai, petugas akan menanyakan nama, pekerjaan, mau pergi kemana, untuk keperluan apa.
6. Menuju loket foto dan sidik jari
7. Mendapatkan slip untuk membayar ke Bank atau Kantor Pos
8. Saya memilih membayar di Kantor Pos, yang memang sudah disediakan di depan kantor imigrasi.
9. Menyimpan bukti pembayaran sebagai syarat pengambilan passport.

Untuk pengambilan passport di buka dari pukul 9 hingga pukul 3 sore.
Jadi itu tadi sekilas untuk pembuatan passport.

Aku juga ingin sharing sedikit tentang aturan main masa berlaku passport kalau kita mau berpergian keluat negeri.
Untuk Malaysia, masa berlaku passport Anda maksimal 6 bulan sebelum hangus.
Untuk Singapura, masa berlaku passport Anda maksimal 4 bulan sebelum hangus.
Untuk Amerika dan Eropa masa berlaku passport Anda maksimal 1 tahun sebelum hangus
Untuk India dan China, masa berlaku passport Anda maksimal 1 tahun sebelum hangus, dan lebih ketat lagi bahkan untuk tiket kepulangan, Anda diminta menunjukkan.

Sekian pengalamanku. Walaupun penuh lika-liku aku masih diberikan Allah kesempatan berangkat ke KL dan mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman disana.
Semoga informasi ini bermanfaat.