Jokowi Mau Gebuk Siapa?[1]
Email:
tiffany.pratiwi@staff.uty.ac.id
Belakangan ini situasi perpolitikan
Indonesia sedang memanas. Salah satunya penyebabnya dari maraknya provokasi
berbau intoleransi sebagai dampak panasnya Pilkada DKI tahun ini. Argumen tersebut
tentu mendapatkan porsi paling besar dari sekian penyebab yang ada, dikarenakan
perhatian masyarakat begitu tinggi. Isu-isu berbau intoleransi dan radikalisme tak
ayal memberikan dampak besar terhadap isu-isu yang berkaitan. Seperti: isu nasionalisme,
anti-Pancasila, isu penistaan agama dan isu minoritas-mayoritas. Situasi ini
tak luput membuat risau banyak kalangan, terlebih-lebih bagi Presiden Jokowi, walaupun
beliau selalu menegaskan untuk menyerahkan kasus-kasus seperti kasus penistaan
agama Surah Al-Maidah, kasus makar, kasus penghinaan terhadap Pancasila ke
ranah hukum dan tidak akan mengintervensinya. Ditengah gempuran yang hebat
terhadap pemerintahan yang ia jalankan, Jokowi masih tetap mengedepankan
komunikasi politik yang tenang dan santai yang memang menjadi ciri khasnya.
Namun, sikap santai yang biasa ditunjukkan Jokowi ternyata bisa berubah drastis.
Baru-baru
ini timbul istilah “Gebuk” yang dilontarkan langsung dari Jokowi dalam kunjungannya ke latihan tempur Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI,
Natuna, Kepulauan Riau. Kata “Gebuk” berasal dari bahasa Jawa yang berarti
memukul. Maraknya isu ormas yang anti-Pancasila, termasuk soal fitnah
sekelompok orang terhadap dugaan keterlibatan keluarga Jokowi dengan PKI
membuat Jokowi akhirnya melontarkan kata tersebut. Sangat jelas perkataan
Jokowi tersebut mengandung isyarat bahwa Jokowi ingin menunjukkan ia sosok yang
santai tapi jangan coba-coba “menyentil”nya atau akan kena gebuk.
Sebenarnya
kata “Gebuk” sendiri bukanlah hal baru dalam komunikasi politik Indonesia.
Penggunaan kata ini sudah cukup familiar di zaman Suharto. Akan tetapi ketika
di masa Suharto kata “Gebuk” memiliki makna yang jelas berbeda dengan yang
Jokowi maksud saat ini. Dulu kita otoriter, sekarang sudah demokratis. Tapi
sekalipun demikian tujuan penggunaan kata tersebut sangat berpotensi blunder karena sangat multitafsir dan
cenderung tidak begitu cocok dipakai Jokowi untuk menangani situasi politik
saat ini dengan sistem demokrasi yang kita jalani sekarang. Karena kata “Gebuk”
dihubung-hubungkan dengan zaman Suharto dulu, maka tidak mustahil reaksi
masyarakat akan beragam dan sangat rawan. Maksud hati ingin menyelesaikan
masalah, malah bisa nambah masalah.
Hal
yang juga menjadi penting ketika Jokowi menggunakan kata “Gebuk” dalam melawan
“musuh” politiknya ialah sasaran yang Jokowi tuju untuk digebuk itu siapa. Pertanyaan
ini pasti juga ditanyakan banyak pihak untuk siapa ancaman “Gebuk Jokowi”.
Mungkinkah “Gebuk Jokowi” tidak berlaku bagi mereka yang dari partai pengusung,
kelompok kepentingan tertentu yang berafiliasi dengan pemerintah, atau bahkan
kelas menengah para pebisnis dan investor hingga kolega politiknya. Hal ini
patut menjadi pertanyaan besar karena Jokowi cenderung hanya menyinggung ormas tertentu
yang kena “Gebuk Jokowi” jika masih merongrong nilai-nilai kebangsaan dan UUD
1945.
Permasalahan
ketidakpastian sasaran dari “Gebuk Jokowi” sangat mungkin disebabkan karena
emosi sesaat Jokowi ketika melontarkan kata tersebut. Pada kenyataannya ormas-ormas
yang dimaksud Jokowi untuk digebuk sendiri belum jelas. Apakah yang dimaksud
adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang belakangan disinyalir menjadi ormas
yang anti-Pancasila. Padahal KH. Ma’ruf Amin selaku
Ketua Umum MUI memberikan komentar bahwa ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) bukan ormas yang sesat atau menyimpang. Lagipula, pemerintah tidak bisa
sembarangan membubarkan HTI, karena harus melewati prosedur hukum di pengadilan
terlebih dahulu.
Sangat disayangkan apabila “Gebuk Jokowi” hanya berdampak untuk
beberapa hari saja, setelah itu tidak ada kelanjutannya. Hal ini bisa menjadi
kritik yang beralasan mengingat persoalan yang ditimbulkan daripada efek domino
Pilkada DKI masih sangat mengkhawatirkan. Jangan sampai pernyataan Jokowi yang
dibesar-besarkan lewat media nasional hanya sebatas headline saja tanpa ada perubahan berarti. Jangan sampai “Gebuk
Jokowi” malah membuat masyarakat berpikir Jokowi hanya bisa gertak saja tapi
tidak ada tindakan nyata. Jangan sampai emosi Jokowi ini malah dimanfaatkan
sekelompok orang untuk mencari-cari kesalahan Jokowi atau lebih parahnya lagi
menyudutkan Jokowi sebagai pemimpin yang represif karena pakai kata “Gebuk”
yang dulunya populer di zaman Suharto.
[1] Ditulis oleh Tiffany Setyo Pratiwi,
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Teknologi Yogyakarta, tulisan ini
ditulis untuk kolom opini di Koran Kedaulatan Rakyat (KR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar