Jumat, 26 Mei 2017

Gebuk Jokowi Untuk Siapa?


Jokowi Mau Gebuk Siapa?[1]
Email: tiffany.pratiwi@staff.uty.ac.id

Belakangan ini situasi perpolitikan Indonesia sedang memanas. Salah satunya penyebabnya dari maraknya provokasi berbau intoleransi sebagai dampak panasnya Pilkada DKI tahun ini. Argumen tersebut tentu mendapatkan porsi paling besar dari sekian penyebab yang ada, dikarenakan perhatian masyarakat begitu tinggi. Isu-isu berbau intoleransi dan radikalisme tak ayal memberikan dampak besar terhadap isu-isu yang berkaitan. Seperti: isu nasionalisme, anti-Pancasila, isu penistaan agama dan isu minoritas-mayoritas. Situasi ini tak luput membuat risau banyak kalangan, terlebih-lebih bagi Presiden Jokowi, walaupun beliau selalu menegaskan untuk menyerahkan kasus-kasus seperti kasus penistaan agama Surah Al-Maidah, kasus makar, kasus penghinaan terhadap Pancasila ke ranah hukum dan tidak akan mengintervensinya. Ditengah gempuran yang hebat terhadap pemerintahan yang ia jalankan, Jokowi masih tetap mengedepankan komunikasi politik yang tenang dan santai yang memang menjadi ciri khasnya. Namun, sikap santai yang biasa ditunjukkan Jokowi ternyata bisa berubah drastis.
Baru-baru ini timbul istilah “Gebuk” yang dilontarkan langsung dari Jokowi dalam kunjungannya ke latihan tempur Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI, Natuna, Kepulauan Riau. Kata “Gebuk” berasal dari bahasa Jawa yang berarti memukul. Maraknya isu ormas yang anti-Pancasila, termasuk soal fitnah sekelompok orang terhadap dugaan keterlibatan keluarga Jokowi dengan PKI membuat Jokowi akhirnya melontarkan kata tersebut. Sangat jelas perkataan Jokowi tersebut mengandung isyarat bahwa Jokowi ingin menunjukkan ia sosok yang santai tapi jangan coba-coba “menyentil”nya atau akan kena gebuk.
Sebenarnya kata “Gebuk” sendiri bukanlah hal baru dalam komunikasi politik Indonesia. Penggunaan kata ini sudah cukup familiar di zaman Suharto. Akan tetapi ketika di masa Suharto kata “Gebuk” memiliki makna yang jelas berbeda dengan yang Jokowi maksud saat ini. Dulu kita otoriter, sekarang sudah demokratis. Tapi sekalipun demikian tujuan penggunaan kata tersebut sangat berpotensi blunder karena sangat multitafsir dan cenderung tidak begitu cocok dipakai Jokowi untuk menangani situasi politik saat ini dengan sistem demokrasi yang kita jalani sekarang. Karena kata “Gebuk” dihubung-hubungkan dengan zaman Suharto dulu, maka tidak mustahil reaksi masyarakat akan beragam dan sangat rawan. Maksud hati ingin menyelesaikan masalah, malah bisa nambah masalah.
Hal yang juga menjadi penting ketika Jokowi menggunakan kata “Gebuk” dalam melawan “musuh” politiknya ialah sasaran yang Jokowi tuju untuk digebuk itu siapa. Pertanyaan ini pasti juga ditanyakan banyak pihak untuk siapa ancaman “Gebuk Jokowi”. Mungkinkah “Gebuk Jokowi” tidak berlaku bagi mereka yang dari partai pengusung, kelompok kepentingan tertentu yang berafiliasi dengan pemerintah, atau bahkan kelas menengah para pebisnis dan investor hingga kolega politiknya. Hal ini patut menjadi pertanyaan besar karena Jokowi cenderung hanya menyinggung ormas tertentu yang kena “Gebuk Jokowi” jika masih merongrong nilai-nilai kebangsaan dan UUD 1945.  
Permasalahan ketidakpastian sasaran dari “Gebuk Jokowi” sangat mungkin disebabkan karena emosi sesaat Jokowi ketika melontarkan kata tersebut. Pada kenyataannya ormas-ormas yang dimaksud Jokowi untuk digebuk sendiri belum jelas. Apakah yang dimaksud adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang belakangan disinyalir menjadi ormas yang anti-Pancasila. Padahal KH. Ma’ruf Amin selaku Ketua Umum MUI memberikan komentar bahwa ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukan ormas yang sesat atau menyimpang. Lagipula, pemerintah tidak bisa sembarangan membubarkan HTI, karena harus melewati prosedur hukum di pengadilan terlebih dahulu.
Sangat disayangkan apabila “Gebuk Jokowi” hanya berdampak untuk beberapa hari saja, setelah itu tidak ada kelanjutannya. Hal ini bisa menjadi kritik yang beralasan mengingat persoalan yang ditimbulkan daripada efek domino Pilkada DKI masih sangat mengkhawatirkan. Jangan sampai pernyataan Jokowi yang dibesar-besarkan lewat media nasional hanya sebatas headline saja tanpa ada perubahan berarti. Jangan sampai “Gebuk Jokowi” malah membuat masyarakat berpikir Jokowi hanya bisa gertak saja tapi tidak ada tindakan nyata. Jangan sampai emosi Jokowi ini malah dimanfaatkan sekelompok orang untuk mencari-cari kesalahan Jokowi atau lebih parahnya lagi menyudutkan Jokowi sebagai pemimpin yang represif karena pakai kata “Gebuk” yang dulunya populer di zaman Suharto.












[1] Ditulis oleh Tiffany Setyo Pratiwi, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Teknologi Yogyakarta, tulisan ini ditulis untuk kolom opini di Koran Kedaulatan Rakyat (KR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar